Sudah empat hari kalimat itu berkeliaran di dalam kepala. Penuh, berisik, sesak semuanya berteriak minta dikeluarkan. Tapi hati kok nggak mau nurut.
Bukan soal enggan bercerita. Rasanya lebih ke... gimana ya, aku sadar nggak punya tempat untuk membawa semua ini pulang. Sendirian.
Makanya wajar aja kalau akhirnya kepala ikut-ikutan pusing. Bisa jadi ini tandanya otak udah kebanyakan muatan. Terlalu banyak yang ditimbun di dalam.
Atau, jangan-jangan cuma karena berat badan lagi nambah, ya? Haha.
Pernah ngerasain yang kayak gini? Badan rasanya berat, hati lelah, mata berkaca-kaca, tapi nggak tau harus cerita ke siapa. Pasti pernah, kan? Semua orang kayaknya ngalamin fase ini. Terutama kita-kita yang dari kecil diajarin buat nahan segala sesuatunya sendiri.
Bukan karena nggak mau terbuka. Tapi lebih karena kita nggak pernah diajarin, sebenarnya luka itu harus dibawa ke mana. Kebanyakan dari kami dididik untuk diam. Menyimpan rapi semua rasa sakit di dalam dada, biar tuwa bersama napas, tanpa pernah dikasih nama, apalagi didengar.
Nah, kadang aku suka mikir. Berapa banyak sih penderitaan yang nggak kelihatan, cuma karena pemiliknya memilih bertahan sendirian? Menurutku, ini masalah yang universal. Bisa menimpa siapa aja, dari latar belakang mana pun.
Lalu muncul satu pertanyaan sederhana. Sederhana sih, tapi jawabannya nggak gampang:
Artikel Terkait
Program Makan Bergizi: Ketika Jerawat Remaja Jadi Target dan Nanas Dibagi untuk Lima Hari
Muslim Arbi Desak Prabowo Pecat Bahlil, Sebut Tambang Picu Perpecahan NU
Dari Piagam Madinah ke Nakba: Jejak Panjang Pengkhianatan dan Perjuangan di Tanah Palestina
Armada Kemanusiaan Global Siap Hadang Blokade Gaza pada 2026