Lumbung Mataraman: Jawaban DIY untuk Kemandirian Pangan Program Makan Gratis

- Selasa, 23 Desember 2025 | 11:54 WIB
Lumbung Mataraman: Jawaban DIY untuk Kemandirian Pangan Program Makan Gratis

Di kompleks Kepatihan Pemda DIY, Selasa (23/12) lalu, suasana terasa cukup hangat. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, duduk berhadapan dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pertemuan itu bukan sekadar formalitas belaka. Intinya membahas sebuah program yang cukup ambisius: Lumbung Mataraman.

Program ketahanan pangan yang mengusung konsep pertanian tradisional terintegrasi ini rencananya akan jadi pemasok utama untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Nanik mengaku, ada kegelisahan yang mengemuka belakangan ini. Soalnya, kebutuhan bahan baku MBG terbilang tinggi, sementara di Yogyakarta sendiri, SPPG baru beroperasi sekitar separuh kapasitas.

“Tapi nanti kalau sudah sekitar 320, itu khawatirnya terjadi inflasi dan kekurangan bahan baku,” ujar Nanik.

Namun begitu, kekhawatiran itu seolah menemukan jawabannya. “Dan alhamdulillah, luar biasa, ternyata Ngarsa Dalem sudah menyiapkan program namanya Lumbung Mataraman,” sambungnya dengan nada optimis.

Menurut Nanik, program yang akan dibangun secara terintegrasi lengkap dengan peternakan dan pertanian inilah yang diharapkan bisa memasok seluruh dapur MBG. Harapannya jelas: tak perlu lagi belanja dari luar daerah. “Sehingga kemandirian ekonomi dan pemberdayaan masyarakat bisa terwujud,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan, Sri Sultan selama ini telah menyiapkan tanah kas desa untuk kesejahteraan warga. “Itu tiap desa satu hektare lebih, dan nanti kalau kurang akan ditambah lagi,” katanya. Lahan itulah yang akan ditanami sayur, buah, dan dimanfaatkan untuk peternakan.

Bukan Cuma untuk Yogya

Rupanya, apa yang dijalankan di Yogyakarta ini punya potensi untuk ditularkan. Nanik bersemangat menceritakan bahwa program ini akan disosialisasikan ke daerah-daerah lain. “Saya akan sampaikan bahwa DIY ini sudah memelopori,” tegasnya.

Ide dasarnya sederhana saja. Di tiap desa, sering ada tanah-tanah yang menganggur, atau yang biasa disebut tanah bengkok. “Kalau perlu, itu bisa ditanami. Yang menanam adalah masyarakat yang tidak punya sawah,” papar Nanik.


Halaman:

Komentar