Lalu, ada pertanyaan lain yang menarik. Kapan sebenarnya Yesus lahir? Injil Lukas memberi petunjuk kecil: para gembala sedang berjaga di padang rumput saat malam hari. Coba bayangkan iklim Palestina. Pada Desember yang dingin dan bersalju, sangat tidak masuk akal para gembala membiarkan ternaknya bermalam di padang terbuka.
Pendeta dan pakar Alkitab Adam Clarke, dalam "Commentary on the Bible"-nya, berpendapat sama.
"It is very unlikely that Christ was born in December… the shepherds could not have been watching their flocks in the open fields at that time," tulisnya.
Jadi, sangat tidak mungkin Kristus lahir di bulan Desember. Para gembala pasti tidak akan menjaga kawanan domba di padang terbuka saat musim itu.
Lantas, mengapa 25 Desember yang akhirnya dipilih? Di sinilah sejarah agama bicara. Sejarawan banyak yang menunjuk pada dua perayaan Romawi kuno: Saturnalia dan Dies Natalis Solis Invicti, atau hari kelahiran Dewa Matahari. Perayaan ini jatuh di sekitar titik balik matahari musim dingin, saat siang hari mulai bertambah panjang dan matahari seolah 'lahir kembali'.
Ini strategi gereja awal. Ketika Kekristenan menjadi agama resmi Romawi di abad ke-4, mereka dihadapkan pada tradisi pagan yang sudah mengakar. Daripada menghapusnya yang pasti sulit, lebih baik mengalihkan maknanya. Proses asimilasi pun terjadi. Perayaan untuk dewa matahari 'dibaptis' menjadi perayaan untuk 'Terang Dunia', yaitu Yesus Kristus.
Namun begitu, strategi ini tidak diterima semua kalangan. Aliran-aliran Kristen yang berpegang teguh pada prinsip "sola scriptura" hanya Alkitab sebagai pedoman sering menolak keras. Bagi mereka, seperti Saksi-Saksi Yehuwa atau Gereja Tuhan (Church of God), Natal 25 Desember adalah bid'ah. Sebuah pencampuradukkan iman dengan ritual pagan yang seharusnya dijauhi.
Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?
Dalam Islam, Nabi Isa 'alaihissalam adalah sosok nabi yang sangat dimuliakan. Kisah kelahirannya bahkan diceritakan dalam Al-Qur'an dengan detail yang menakjubkan, termasuk saat Maryam melahirkan di bawah pohon kurma. Namun, Islam sama sekali tidak menetapkan tanggal kelahiran beliau, dan juga tidak menjadikannya sebagai hari raya. Jadi, bagi umat Islam, Natal dilihat sebagai ritual keagamaan umat Kristen dengan dimensi teologisnya sendiri, bukan bagian dari ajaran Islam.
Menyikapi hal ini, Buya Hamka semasa menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (1981) pernah mengeluarkan fatwa yang jelas. Beliau mengharamkan keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal. Alasannya, Natal adalah bentuk ibadah umat Kristen. Fatwa MUI era Buya Hamka itu hingga kini masih menjadi rujukan banyak kalangan.
Di sisi lain, Wakil Menteri Agama kala itu, Romo Syafii, juga punya pandangan serupa. Menurutnya, Natal adalah perayaan khusus umat Kristiani. Bukan perayaan lintas agama. Karena itu, beliau menyarankan umat Islam untuk tidak ikut-ikutan merayakannya. Wallahu a'lam bish-shawab.
Nuim Hidayat
Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
Wagub Babel Hellyana Ditetapkan Tersangka Kasus Ijazah Palsu
Siklon Tropis Grant Menguat, Gelombang Tinggi Ancam Perairan Selatan Jawa
Indosat Genjot Sinyal di 68 Titik Wisata Jelang Libur Panjang
Perpol 10/2025: Pintu Khusus Polisi Aktif di Kementerian Saat Anak Muda Gigit Jari