Perlu dicatat, selain air minum, alat yang sama juga memproduksi air bersih dengan volume lebih besar sekitar 20 hingga 30 ribu liter per hari untuk keperluan mandi dan cuci masyarakat. Prosesnya bertahap.
"Jadi, air kotor itu, air banjir yang berlumpur itu masukkin situ, keluar air bersih. Tapi belum air minum. Dari situ olah lagi air minum, bisa diminum," jelas Arif merinci cara kerjanya.
Pengalaman di lapangan ternyata memberi masukan berharga. Desain alat yang sekarang dinilai masih kurang praktis, terutama untuk medan bencana yang seringkali sulit.
"Sekarang kan ketika ada bencana, repot membawanya karena terbuka. Saya butuh desain yang lebih ramping, lebih bagus, lebih mudah diangkut dan sebagainya," keluhnya.
Maka, arahan untuk penyempurnaan pun diberikan. Riset lanjutan tidak hanya mengejar kapasitas, tetapi juga kepraktisan. Bahkan, ada ide yang lebih ekstrem untuk situasi darurat.
"Sekarang kita desain, selesai riset, instruksi saya, tolong desain ulang Arsinum supaya bisa diangkut menggunakan helikopter misalnya gitu," ucap Arif.
Harapannya jelas: agar bantuan teknologi ini bisa sampai lebih cepat, ke mana pun, bahkan ke lokasi yang paling terpencil sekalipun.
Artikel Terkait
Bantuan BCA Tiba di Pengungsian Aceh Tamiang, Dukung Pemulihan Pasca-Banjir
Pemerintah Siapkan Diskon Massal untuk Antisipasi 60 Juta Pemudik Nataru
Sekretaris Kabinet dan Kepala BMKG Bahas Persiapan Cuaca Libur Akhir Tahun
Lari 10 Ribu Pasang Kaki di Borobudur, Kumpulkan Miliaran Rupiah untuk Korban Bencana