Argumennya sederhana: menurut Refly, gelar perkara khusus yang sudah dilakukan itu sebenarnya nggak punya dasar rasial buat menjerat klien-kliennya. Dia merasa polisi main serampangan.
"Kan cuma dikatakan ada 700 bukti dan lainnya, tolong tunjukkan tempus delicti-nya mana, locus-nya mana, peristiwanya apa. Dia main blanket aja, disatukan saja begitu. Enggak bisa begitu tindak pidana," paparnya dengan nada kesal.
Kekhawatiran utamanya jelas. "Kalau kita melakukan praperadilan, ini bakal jebakan Batman. Artinya it could be menjadi alat legitimacy bagi sebuah proses penyidikan yang unprofessional seperti ini," tambahnya.
Kasus ini sendiri sudah menyeret delapan orang sebagai tersangka sejak November tahun lalu. Mereka diduga terlibat dalam fitnah, pencemaran nama baik, dan manipulasi data elektronik terkait isu yang sama. Polisi membagi mereka dalam dua klaster.
Klaster pertama berisi lima nama: Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis. Sementara klaster kedua adalah tiga orang yang diwakili Refly: Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma atau yang dikenal sebagai dr. Tifa.
Nah, sekarang pilihan ada di tangan tim hukum. Maju ke praperadilan dengan risiko "jebakan" yang diingatkan Refly, atau cari strategi lain di tengah situasi yang mereka anggap tidak adil.
Artikel Terkait
Kriminalisasi di Balik Jeruji: Saat Hukum Jadi Alat, Siapa yang Berani Bersuara?
Rumah Dinas Bupati Indragiri Hulu Digeledah KPK, Terkait Kasus Gubernur Riau
Nadiem Siap Hadapi Sidang Korupsi Chromebook Setelah Dinyatakan Pulih
Menteri Agama Soroti Perbedaan Mendasar: Pendidikan Islam Bukan Sekadar ITB Plus Akhirat