Kemudian, invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 menjadi ujian lain yang lebih berat. Tapi di sini, responsnya justru adaptif dan tegas. Bergabungnya Finlandia dan Swedia ke NATO, serta pernyataan bersama negara-negara Nordik soal pertahanan, justru menegaskan kembali identitas komunitas mereka.
Ini membuktikan kemampuan mereka untuk merevitalisasi kepercayaan dan kerja sama di tengah krisis geopolitik besar. Norma dan identitas bersama itu ternyata bisa teruji, direkonstruksi, dan akhirnya diperkuat kembali ketika menghadapi ancaman eksistensial.
Jadi, pelajarannya apa? Solidaritas berbasis nilai harus diiringi pragmatisme dalam merespons kondisi nyata. Dengan begitu, regionalisme bisa bertahan di tengah ketidakpastian.
Lalu, bagaimana jika kita bandingkan dengan ASEAN? Di sini, perbedaannya cukup jauh. Komunitas Keamanan Nordik bertumpu pada nilai kolektif kuat trust, transparansi, shared values yang sudah mengakar dalam struktur sosial-politik mereka. Mekanisme koordinasinya pun jadi lebih dalam dan responsif.
ASEAN? Prinsip dasarnya berbeda. Regionalisme di sana dibangun di atas prinsip non-interference dan konsensus yang longgar. Kerangka ini memang menghormati kedaulatan nasional, tapi di sisi lain menghambat integrasi keamanan yang lebih mendalam.
Hal itu menjadi penghalang serius saat menghadapi ancaman bersama, entah itu konflik di Laut China Selatan atau masalah non-tradisional seperti terorisme. Ditambah lagi, perbedaan sistem politik, tingkat pembangunan, dan lemahnya identitas kolektif yang kuat, membuat ASEAN sulit menjadi komunitas keamanan yang solid.
Aspek kelembagaannya juga beda. Nordik punya NORDEFCO yang tak hanya menetapkan norma, tapi juga mekanisme konkret untuk latihan militer bersama dan pengembangan kemampuan. ASEAN lebih mengandalkan forum diskusi yang bersifat deklaratif, seperti ARF atau KTT.
Memang ada blueprint strategis, tapi implementasinya sering terbentur mekanisme konsensus. Alhasil, langkah cepat dan tegas untuk menanggulangi ancaman jadi sulit diambil. Kelemahan ini terlihat, misalnya, dalam kesulitan ASEAN mengelola konflik internal atau krisis kemanusiaan di antara anggota sendiri.
Ambil contoh konflik Thailand-Kamboja beberapa waktu lalu. Meski ASEAN dianggap berhasil mendorong gencatan senjata, nyatanya penyelesaian akhir justru melibatkan pihak eksternal seperti AS dan Tiongkok.
Pada intinya, model Nordik memberi pelajaran berharga: komunitas keamanan yang tangguh butuh identitas bersama yang kuat, struktur institusional yang efektif, dan kemampuan adaptasi. Pengalaman ASEAN, di sisi lain, menunjukkan bahwa tanpa fondasi itu, regionalisme akan mudah terhambat oleh tarik-menarik kepentingan nasional yang tak pernah usai.
Artikel Terkait
Paket Bergizi Tetap Mengalir Meski Siswa Bandar Lampung Libur Sekolah
Pramono Anung Larang Kembang Api Resmi di Jakarta Menyambut Tahun Baru
KPK Ungkap Aliran Dana Kuota Haji, Kerugian Negara Tembus Rp 1 Triliun
Gawai hingga Live Streaming: Pelanggaran TKA 2025 Libatkan Peserta hingga Pengawas