Oleh: Nurul Hidayah
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan Rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali, sebagian kecil saja (diantara kamu).” (QS An-Nisa: 83).
Informasi sekarang bergerak begitu cepat. Terlalu cepat, mungkin. Nalar kita kerap kewalahan mencerna, sementara jari-jari sudah terlanjur lincah mengetik dan membagikan. Media sosial mengubah kita semua siapapun menjadi penyiar dadakan. Pikirannya? Kadang malah datang belakangan.
Fenomena “share” dulu, verifikasi belakangan, sudah jadi kebiasaan yang mengkhawatirkan. Ditambah lagi konten-konten viral yang sumbernya tak jelas, dan budaya “asal sebar” demi tak ketinggalan. Hasilnya? Polusi informasi. Hoaks bukan cuma soal kebohongan biasa lagi, tapi sudah jadi ancaman serius yang bisa menghancurkan nama baik dan memecah-belah masyarakat.
Menariknya, soal kekacauan informasi ini sebenarnya sudah diingatkan sejak lama. Empat belas abad silam, Al-Qur’an lewat Surat An-Nisa ayat 83 sudah memberi peringatan keras sekaligus panduan yang sangat relevan. Ayat ini bukan cuma teks kuno, tapi lebih mirip kompas etika bagi kita yang hidup di zaman digital. Sebuah penuntun agar kita tidak tersesat di rimba data yang penuh jebakan.
Latar Belakang Turunnya Ayat
Ayat ini punya konteks sejarah yang kuat. Ia turun bukan tanpa sebab, melainkan merespons langsung gejolak sosial di Madinah. Setidaknya ada dua riwayat utama yang menceritakan latarnya.
Pertama, soal isu perceraian Nabi. Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, suatu ketika beredar kabar burung di Madinah bahwa Rasulullah SAW menceraikan semua istrinya. Kabar ini bikin panik. Banyak orang sedih dan cemas, sampai-sampai ada yang menangis di masjid. Umar yang mendengar hal itu langsung bergerak. Ia mendatangi Nabi untuk konfirmasi.
“Tidak,” jawab Nabi SAW singkat. Ternyata beliau hanya sedang mengasingkan diri sebentar.
Umar lalu bergegas kembali ke masjid dan berteriak, “Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya!”
Nah, ayat ini turun sebagai teguran buat mereka yang buru-buru menyebar berita panas sebelum dicek kebenarannya ke pihak yang berwenang.
Kedua, terkait kabar militer. Riwayat lain menyebut, dulu ada kelompok munafik atau sebagian Muslim yang mentalnya lemah. Mereka sering menyebarkan berita kemenangan atau kekalahan pasukan Islam sebelum ada pengumuman resmi dari pimpinan. Kalau berita baik, jadi lengah. Kalau berita buruk, langsung ciut nyali dan takut. Ayat ini turun sebagai pengingat agar informasi strategis apalagi yang menyangkut keamanan tidak dibocorkan sembarangan ke publik.
Intinya, ayat ini teguran untuk yang suka cerita duluan, tabayun belakangan.
Kaitan dengan Ayat Lain
Kalau dilihat lebih luas, ayat ini punya korelasi yang erat dengan ayat-ayat lain dalam Surat An-Nisa. Misalnya, dengan ayat 59 yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Nah, perintah mengembalikan berita kepada mereka berdua di ayat 83 ini adalah bentuk aplikasinya. Semacam protokol komunikasi agar masyarakat tidak kacau balau karena informasi yang simpang siur.
Lalu ada kaitannya juga dengan ayat 82, yang menyinggung soal tadabbur Al-Qur’an. Ayat sebelumnya bertanya, “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an?” Jadi, orang yang daya kritis dan perenungannya baik, insya Allah tidak gampang termakan hoaks. Kegagalan mengelola info (ayat 83) seringkali berawal dari minimnya tadabbur (ayat 82).
Selain itu, Surat An-Nisa kan banyak bicara tentang keadilan, hak perempuan, dan anak yatim. Nah, ketidakadilan itu sering berawal dari fitnah dan kesaksian palsu, yang sumbernya ya informasi ngawur. Jadi, dengan menjaga lisan (dan jempol) dari menyebar hoaks, kita sebenarnya ikut menjaga pilar keadilan itu sendiri.
Artikel Terkait
Sofia Berdengung: Rombongan Sinterklas Naik Motor Warnai Musim Natal
Di Aceh, Malam Tahun Baru Sunyi Terompet, Ramai Doa untuk Korban Bencana
9 Juta Hektar Sawit Ilegal: Negara Dituding Tutup Mata Atas Kebun Tanpa HGU
Kapolri Gebrak Rotasi, Polwan Kuasai Jabatan Strategis