Di sisi lain, upaya ini tak cuma soal fisik. Ada juga kebijakan yang lebih personal dan rutin. Setiap Rabu, misalnya, pegawai Balai Kota diwajibkan mengenakan busana adat Betawi. Kebaya encim dan setelan Ujung Serong jadi pemandangan biasa.
“Semuanya pelantikan pakai Ujung Serong, selalu saya adakan setiap hari Rabu. Supaya apa? Supaya masyarakat juga melihat. Kebaya Encim, kebaya Betawi dipakai,” ungkapnya.
Dia menambahkan, “Dan semua acara di Balai Kota tidak ada yang tidak bernuansa Betawi, tidak ada.”
Yang menarik, Pramono sangat menekankan soal posisi pemerintah. Bagi dia, Pemprov DKI bukanlah pihak yang berada di atas masyarakat Betawi. Hubungannya harus setara.
“Yang namanya Balai Kota, namanya Pemerintah DKI, posisinya bukan di atasnya Kaum Betawi. Sejajar. Posisinya sejajar sebagai mitra, sebagai partner untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik,” tegas dia.
Harapannya jelas. Dengan kemitraan sejajar dan penegasan identitas yang kuat, kewibawaan pemerintah daerah dan masyarakat adat bisa naik bersama.
“Dan kalau itu terjadi terbentuk, maka saya yakin bahwa leverage atau kedudukan Kaum Betawi, Majelis Adat-nya ini menjadi sangat dihormati oleh siapa pun. Karena kemitraan tadi,” tandas Pramono menutup pembicaraan.
Artikel Terkait
Pantai Bondi Berdarah: Jejak ISIS dalam Penembakan Massal Hanukkah
Bupati Situbondo Turun Tangan, Kakek 71 Tahun Menangis Usai Dituntut 2 Tahun karena Burung Cendet
Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Polda, Benteng Pertahanan Mulai Runtuh
Drone dan Parang: WNA China Serang Personel TNI di Area Tambang Ketapang