Suara dari Hutan Gayo: Kisah Radio Rimba Raya yang Selamatkan Republik

- Minggu, 14 Desember 2025 | 10:20 WIB
Suara dari Hutan Gayo: Kisah Radio Rimba Raya yang Selamatkan Republik

Pesawat Seulawah dan Emas Rakyat

Selain radio, kontribusi Aceh yang paling melegenda adalah sumbangan untuk membeli pesawat. Ceritanya, rakyat Aceh dengan sukarela mengumpulkan uang dan emas. Konon, terkumpul dana senilai 120 ribu dolar Malaya setara dengan 20 kilogram emas! Sumbangan itu datang dari mana-mana, dari para saudagar yang tergabung dalam GASIDA sampai rakyat biasa.

Dana itulah yang dipakai membeli sebuah pesawat Dakota dari Singapura. Pesawat itu kemudian diberi nama Seulawah RI-001, atau "Gunung Emas", merujuk pada sebuah gunung terkenal di Aceh. Fungsinya vital: mengangkut obat-obatan dari India ke Yogyakarta untuk merawat para pejuang yang terluka.

Tapi sumbangan Aceh tidak berhenti di situ. Mereka juga mengirimkan senjata, makanan, dan pakaian untuk mendukung perjuangan pemerintah pusat. Intinya, saat wilayah lain jatuh, Aceh tetap berdiri dan menjadi penyangga utama.

Siaran Penyelamat dari Hutan Gayo

Kembali ke soal radio. Sebenarnya, sejak 1946 Aceh sudah punya pemancar di Kutaraja. Lalu, pada 1947, dibangunlah pemancar lain di pedalaman Aceh Tengah yang kelak terkenal sebagai Radio Rimba Raya. Dua pemancar inilah yang menjaga agar komunikasi Republik tidak putus sama sekali ketika Belanda menggempur.

Menghadapi agresi tersebut, para pemimpin Aceh disebut-sebut sudah menyusun enam rencana jitu. Rencananya antara lain: mempersiapkan perang gerilya, menambah senjata dari luar negeri, menyiapkan dana dan logistik, serta mengamankan tempat-tempat vital seperti lapangan udara dan pemancar radio. Rencana itu rupanya bekerja dengan baik. Buktinya, Aceh satu-satunya daerah yang tidak pernah berhasil dikuasai Belanda selama agresi tersebut.

Peran heroik Radio Rimba Raya itu kini diabadikan dalam sebuah monumen di Kampung Rimba Raya, Kabupaten Bener Meriah. Sebuah prasasti di sana menggambarkan situasi genting saat itu.

"Saat itu sangat kritis…" tulis prasasti itu.

"Pada tanggal 19 Desember 1948, Ibukota Negara Republik Indonesia Yogyakarta, dikuasai Belanda. Radio Republik Indonesia yang mengumandangkan suara Indonesia Merdeka ke seluruh dunia, tiada lagi mengudara. Radio Belanda Hilversum, secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Sebagian dunia mempercayai berita itu."

"Pada saat demikian gentingnya suasana, tanggal 20 Desember 1948 malam, RRR (Radio Rimba Raya) mengudara menembus angkasa memberitakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA masih ada dan Revolusi 1945 masih tetap menyala."

Radio darurat itu dioperasikan oleh tentara Divisi X/Aceh di bawah Kolonel Husein Jusuf. Siarannya yang berkala dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu menjadi bukti nyata bagi dunia bahwa Republik masih tegak. Suara itulah yang akhirnya mendesak Belanda untuk berunding, yang berpuncak pada KMB di Den Haag. Selama agresi berlangsung hingga pasukan Belanda ditarik, dari hutan Gayo-lah pesan perjuangan dan kedaulatan Indonesia terus dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia.


Halaman:

Komentar