Suara dari Hutan Gayo: Kisah Radio Rimba Raya yang Selamatkan Republik

- Minggu, 14 Desember 2025 | 10:20 WIB
Suara dari Hutan Gayo: Kisah Radio Rimba Raya yang Selamatkan Republik

Di tengah bencana ekologis yang melanda Sumatera, sebuah video tiba-tiba muncul dan viral. Isinya? Sepenggal kisah tentang peran sentral Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan. Yang menarik, yang bercerita adalah seorang pria bule. Intinya sederhana tapi tegas: jangan pernah melupakan Aceh.

Begini katanya:

"Aceh, suara dari hutan yang menyelamatkan Indonesia. Jangan pernah melupakan sejarah ini. Saat Indonesia nyaris runtuh, Aceh bangkit!"

"Tahun 1948, Belanda datang lagi lewat Agresi Militer ke-2. Jakarta jatuh, Yogyakarta diduduki. Semua pemancar radio Indonesia dihancurkan. Dunia mengira: Indonesia sudah mati!"

"Tapi, dari kedalaman hutan lebat Gayo, dari jantung bumi Aceh Tengah, muncul satu suara yang mengguncang dunia. Radio Rimba Raya! Inilah napas terakhir republik. Inilah suara kemerdekaan."

Dia melanjutkan, radio itu milik TNI Divisi X pimpinan Kolonel Husein Jusuf. Dibeli dari Singapura, diselundupkan, lalu disembunyikan di tengah belantara. "Aceh tidak hanya menyediakan tempat. Aceh menyediakan nyawa, akal, dan keberanian," ujarnya. Siarannya pun beragam: Inggris, Belanda, Arab, Urdu, hingga Mandarin.

"Dari 23 Agustus hingga 2 November 1949, dunia mendengar kabar dari hutan Aceh: Indonesia belum kalah. Republik masih hidup."

Akibatnya, Belanda kebakaran jenggot. Propaganda lewat Radio Hilversum yang menyebut Indonesia hancur, langsung dibungkam oleh kebenaran dari Aceh. Menurut narasi itu, suara dari hutan Gayo inilah yang kemudian memaksa Belanda duduk di meja perundingan. "Dan karena suara dari Aceh itulah, Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Den Haag," tegasnya.

"Tanpa Aceh, dunia tak akan tahu bahwa Republik masih ada. Tanpa Aceh, tidak akan ada diplomasi udara yang menyelamatkan nama Indonesia. Aceh adalah benteng terakhir!"

Pria itu menutup dengan penekanan, "Radio Rimba Raya bukan hanya alat komunikasi, ia adalah suara Aceh yang menyalakan kembali semangat nasional. Hari ini kita boleh punya teknologi canggih, tapi dulu Indonesia bertahan karena keberanian Aceh."

"

Memang, situasi saat itu sangat kritis. Agresi Militer Belanda II membuat Indonesia babak belur. Yogyakarta, ibu kota Republik waktu itu, berhasil diduduki. Soekarno-Hatta dan para pemimpin lain ditangkap. Jakarta? Jauh sebelumnya sudah jatuh. Di titik nadir itulah, Aceh menunjukkan taringnya. Seperti dikatakan dalam video tadi, Aceh benar-benar menjadi "napas terakhir Republik Indonesia".


Halaman:

Komentar