Memang, bantuan pemerintah sudah disalurkan. Tidak bisa dipungkiri. Logistik bergerak, BNPB turun ke lapangan, TNI berjibaku, bahkan ada pejabat yang rela memikul karung beras sendiri.
Tapi masalahnya bukan cuma soal ada atau tidaknya bantuan.
Yang jadi soal, bencana kali ini jauh lebih dahsyat dibanding respons yang diberikan. Skalanya tidak seimbang.
Di Aceh sekarang, kebutuhan mendesaknya bukan cuma beras atau mi instan. Mereka butuh percepatan. Butuh mobilisasi yang masif dan akses yang dipulihkan secepat kilat. Tanpa itu, bantuan cuma numpuk di posko.
Banyak korban jiwa, menurut sejumlah laporan, bukan semata karena terjangan banjir. Mereka meninggal karena terisolasi. Akses putus total, membuat bantuan tak bisa menjangkau perut yang sudah keroncongan.
Ada wilayah yang baru terjangkau di hari kedelapan, bahkan kesebelas. Bayangkan.
Mereka berteriak kelaparan di tengah reruntuhan.
Dari lapangan, suara para relawan nyaris seragam. Mereka berteriak lantang hal yang sama: Aceh butuh status bencana nasional. Sekarang.
Musibah ini terlalu berat, terlalu luas jangkauannya, dan responsnya maaf terlalu lambat untuk hanya ditanggung oleh kemampuan provinsi. Butuh mobilisasi total dari pusat.
Saya membaca sebuah analisis yang menyebut, pemulihan Aceh tanpa bantuan internasional bisa memakan waktu 20 sampai 30 tahun. Angka itu bukan dibuat-buat. Itu hitungan realistis melihat infrastruktur hancur, desa-desa yang hilang ditelan tanah longsor, dan ekonomi lokal yang runtuh seketika.
Coba kita ingat tsunami 2004.
Kala itu, SBY baru dua bulan menjabat. Pemerintahannya masih sangat muda, penuh ketidakpastian. Tapi saat Aceh luluh lantak, dia tak ragu. Status bencana nasional langsung ditetapkan.
Artikel Terkait
Bupati Lampung Tengah Tersandung Suap Rp5,7 Miliar untuk Bayar Utang Kampanye
Suharti Buka Suara: Data Pendidikan Masih Banyak PR Meski 71,9% Dinilai Baik
Di Balik Duka Sumatera, Solidaritas Ternyata Menyembuhkan Jiwa Penolong
Bandara Sam Ratulangi Siap Hadapi Gelombang Mudik Nataru