Banjir Sumatra: Lanskap Rusak, Bukan Hanya Hujan, yang Memperparah Bencana

- Selasa, 09 Desember 2025 | 09:40 WIB
Banjir Sumatra: Lanskap Rusak, Bukan Hanya Hujan, yang Memperparah Bencana

Desi Suyamto, seorang peneliti yang masih aktif berkarya, punya pengalaman panjang di berbagai lembaga. Saat ini ia fokus di Pusat Ilmu Lingkungan IPB. Sebelumnya, jejaknya juga bisa dilacak di BIOTROP, World Agroforestry Center (ICRAF), dan CIFOR.

Banjir Sumatra: Menyalahkan Cuaca Saja Itu Mengabaikan Sains

Oleh: Desi Suyamto

Belakangan ini, ramai pemberitaan yang mengutip pernyataan pakar ilmu tanah IPB, Dr. Basuki Sumawinata. Ia menyebut banjir besar di Sumatra murni disebabkan hujan ekstrem dari siklon tropis. Bukan oleh perubahan tutupan lahan, dan bukan pula karena ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Argumen itu tentu punya dasar. Memang benar, siklon bisa memuntahkan hujan dengan intensitas luar biasa bahkan mencapai 300 hingga 400 milimeter hanya dalam tiga hari. Tapi, tunggu dulu. Penjelasan semacam ini rasanya baru menyentuh kulitnya saja, belum sampai ke inti persoalan yang sebenarnya.

Di satu sisi, meteorologi bilang hujan ekstrem adalah pemicu banjir. Namun begitu, hidrologi punya cerita lain. Banjir, dalam ilmu ini, adalah hasil percampuran rumit antara air hujan yang jatuh dan kondisi lanskap yang menerimanya. Saat lanskap itu rusak atau berubah, dampak dari hujan ekstrem itu sendiri bisa membengkak berkali-kali lipat. Jadi, klaim bahwa ekspansi sawit dan deforestasi "tidak relevan" dalam peristiwa banjir ekstrem, agaknya kurang sejalan dengan bukti-bukti ilmiah hidrologi masa kini.

Cuaca Bilang 'Berapa Banyak', Tapi Lanskap yang Tentukan 'Seberapa Parah'

Tak bisa dimungkiri, siklon tropis memang sanggup menghujani suatu daerah aliran sungai (DAS) melebihi kapasitas normalnya. Tapi, meteorologi tak pernah menjelaskan mengapa kerusakan banjir di satu tempat bisa jauh lebih dahsyat dibanding tempat lain, padahal hujannya sama deras.

Nah, di sinilah hidrologi berbicara. Respons sebuah DAS terhadap hujan lebat ditentukan oleh banyak hal: kondisi tutupan lahannya, kemampuan tanah menyerap air, ada tidaknya hutan dengan struktur akarnya, tingkat erosi, dan seberapa besar gangguan di wilayah hulu.

Bukti klasik dan sangat berpengaruh datang dari studi Bosch dan Hewlett di tahun 1982 sebuah artikel yang sudah dikutip ribuan kali. Mereka menunjukkan, perubahan vegetasi secara konsisten mengubah siklus air. Saat hutan diganti lahan terbuka atau perkebunan monokultur, air akan bergerak lebih cepat ke sungai dan meningkatkan debit puncak. Artinya, curah hujan ekstrem dan kondisi lanskap adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Dari Pemicu Jadi Penguat: Ketika Lanskap yang Rusak Memperbesar Bencana

Penelitian global berulang kali membuktikan, deforestasi memperbesar risiko banjir apa pun pemicu awalnya.

Ambil contoh studi Bradshaw dkk. (2007) di Global Change Biology. Dengan menganalisis data dari 56 negara, mereka menemukan hilangnya hutan secara signifikan meningkatkan frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan banjir. Negara berkembang seperti Indonesia termasuk yang paling merasakan dampaknya.

Sementara itu, tinjauan komprehensif Brown dkk. (2005) terhadap puluhan studi menunjukkan pola yang konsisten: pembukaan hutan meningkatkan debit puncak, mempercepat aliran permukaan, dan memicu erosi.

Intinya, ketika hutan hilang, banjir jadi makin menjadi karena beberapa hal. Infiltrasi tanah menurun, sehingga lebih banyak air yang lari menjadi limpasan permukaan. Debit puncak sungai membesar, memicu banjir bandang. Sedimen dan puing-puing pun mudah hanyut, memperparah kerusakan di hilir.

Jadi, menyimpulkan perubahan tutupan lahan tidak relevan, agaknya melompati terlalu banyak bukti ilmiah yang ada.

Fakta Kunci: Hutan Bukan Perisai Ajaib, Tapi Peredam yang Andal

Ada argumen yang kerap muncul: "Bahkan hutan pun tak akan sanggup menahan hujan 400 mm dalam tiga hari." Memang betul. Namun begitu, pernyataan itu tidak lantas berarti deforestasi dan alih fungsi lahan bisa diabaikan begitu saja.


Halaman:

Komentar