Hutan itu lebih dari sekadar pohon-pohon yang berkumpul. Ia adalah sebuah mekanisme hidup yang menahan air di tanah, membiarkan hujan terserap perlahan, dan menjadi benteng alami melawan erosi.
Lumpur masih belum kering sepenuhnya. Di pedalaman Sumatra, warga terus mengais-ngais sisa kehidupan mereka. Banjir dan longsor besar akhir November 2025 baru saja meninggalkan luka yang dalam. Sungai-sungai yang biasanya tenang berubah jadi monster, mengalirkan air cokelat pekat yang membawa gelondongan kayu, batu-batu besar, dan aroma tanah yang tercabik-cabik. Dari Aceh sampai Sumatra Barat, bencana ini bukan cuma soal hujan deras. Ini adalah catatan panjang tentang cara kita memperlakukan hutan dan lanskap hidup kita sendiri.
Sementara masyarakat sibuk mencari siapa yang salah dan siapa yang lalai, sebuah dokumenter lama tiba-tiba muncul lagi di jagat digital: Years of Living Dangerously dari tahun 2014. Film yang dibintangi selebritas Hollywood itu jadi viral lagi. Rasanya seperti kita dipaksa untuk duduk, menonton ulang, lalu menelan pil pahit bahwa semua peringatan yang diucapkan sepuluh tahun lalu ternyata benar-benar jadi kenyataan hari ini.
Peringatan yang Dulu Dianggap Jauh
Dalam salah satu episodenya, aktor Harrison Ford menyusuri hutan Indonesia. Kamera mengikuti, merekam dengan jelas betapa suramnya deforestasi yang terjadi. Konflik kepentingan, ekspansi industri sawit dan kayu yang tak henti menekan hutan primer, semuanya terekam. Tahun 2014, itu mungkin cuma terlihat seperti potret krisis lingkungan yang jauh dari keseharian. Topik seminar yang menguap begitu acara selesai.
Ford berulang kali bilang, hutan bukan cuma kumpulan pepohonan. Ia adalah mekanisme vital. Penahan air, penyerap hujan, penjaga tanah. Kalau fungsinya dicabik-cabik oleh industri dan politik, satu tetes hujan pun bisa berubah jadi rentetan malapetaka.
Sekarang, satu dekade kemudian, potongan kayu yang mengambang di sungai Sumatra berbicara lebih lantang daripada film itu sendiri. Setiap batang kayu yang terhempas ke pemukiman adalah bukti visual dari apa yang dulu cuma disebut "isu akademis". Hutan hilang, tanah kehilangan daya serap, sungai kebanjiran sedimen. Semuanya nyata.
Banjir 2025: Akumulasi, Bukan Kebetulan
Pernyataan dari kementerian dan pejabat daerah terdengar seragam: "cuaca ekstrem", "anomali iklim", "curah hujan tinggi". Itu benar, tapi itu bukan cerita lengkapnya. Hujan cuma pemicu. Manusialah yang menyiapkan panggungnya.
Para ahli hidrologi dari berbagai kampus sepakat soal satu hal: degradasi hutan di daerah hulu adalah penyebab struktural yang memperparah banjir. Di tempat yang seharusnya jadi spons raksasa penyerap air, sekarang ada kebun monokultur, tanah terbuka, dan bekas tebangan. Tanah itu sudah kehilangan kegemburannya. Air hujan yang mestinya meresap pelan-pelan, kini meluncur deras seperti di atas kaca. Banjir di Sumatra ini bukan peristiwa dadakan. Ini hasil akumulasi dari kebijakan yang meminggirkan lingkungan. Deforestasi yang dulu diingatkan di dokumenter itu, kini jadi variabel tetap dalam setiap bencana kita.
Viral Karena Terlalu Nyata
Ada alasan kenapa Years of Living Dangerously kembali menghantui linimasa. Di tengah berita banjir, warga ramai-ramai mengunggah potongan video saat Harrison Ford mewawancarai pejabat Indonesia yang gagap menjelaskan soal perizinan hutan.
Di film itu, Ford bertanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan ketidakpuasan: "If the forest keeps shrinking like this, what do you think is going to happen?"
Artikel Terkait
Bencana Sumatera: Sorotan dan Desakan Mundur Menteri di Tengah Isu Reshuffle
Bupati Aceh Selatan Minta Maaf Usai Umrah di Tengah Banjir
Wagub Kalbar Pimpin INKANAS, Bidik Karateka Muda ke Kancah Dunia
11 Hari Pasca-Bencana, Ribuan Warga Agam Masih Terjebak di Balik Runtuhan