Namun begitu, ia menegaskan satu hal: banjir bandang tahun ini adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Penyebabnya bukan cuma curah hujan ekstrem akibat siklon tropis, tapi juga kerusakan hutan di hulu perbukitan yang sudah sangat masif.
“Jutaan ton tanah pekat dan jutaan kubik kayu gelondongan ikut terbawa arus,” tegasnya.
“Itu bukan fenomena alam biasa itu akibat penebangan liar, land clearing serampangan, dan kebijakan yang teledor.”
Ia menambahkan, publik berhak menuntut pertanggungjawaban para pelaku perusakan hutan, baik korporasi maupun pejabat yang lalai.
“Harus ada sanksi pidana, pencabutan izin, dan denda seberat-beratnya. Jangan cuma pencabutan izin formal buat meredam kemarahan publik saja,” kata Erick.
Meski demikian, prioritas saat ini tetap jelas. Menurutnya, fokus harus pada penyelamatan korban selamat, pencarian yang hilang, dan relokasi permukiman yang hancur. Penanganan kemanusiaan harus jadi yang utama, baik bagi pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat.
“Kita satu bangsa, satu saudara. Pastikan para penyintas dapat penanganan terbaik. Nyawa manusia jauh lebih penting,” ujarnya.
Rasa prihatinnya terasa sangat personal. Dua kampung halamannya termasuk yang terdampak paling parah: Takengon di Aceh Tengah, tempat ia dilahirkan, dan Batang Toru di Tapanuli Selatan, kampung ibunya.
“Kerusakan di sana parah sekali. Korban jiwa banyak. Ini sangat memilukan,” ungkapnya lirih.
Erick berharap, bencana memilukan ini bisa jadi titik balik. Indonesia, katanya, harus memperkuat perlindungan hutan, memperbaiki tata kelola lingkungan, dan menghentikan segala praktik eksploitasi yang membahayakan keselamatan rakyat.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam