“Kami cari makanan, apa pun itu, kelapa, kami berenang biar gak hanyut,” ujarnya.
Sedikit beras yang berhasil mereka dapatkan pun dimasak dengan susah payah. Hasilnya dibagi-bagi dengan sangat hati-hati.
“Ada nasi beras dikit, kami masak pakai api, sesendok-sendok satu orang, itu pun diprioritaskan untuk anak-anak. Kami (orang dewasa) gak usah (makan),”
kenang Wahyu.
Hidup mereka benar-benar bergantung pada sisa-sisa makanan dan buah-buahan yang bisa ditemukan. Baru di hari keenam, air mulai surut. Tapi, kondisi tetap sulit. Kisah ini bukan sekadar laporan bencana, melainkan potret nyata tentang ketahanan manusia di ujung keterbatasan.
Artikel Terkait
Ratu Dewa Turun Langsung Atasi Banjir dan Genangan di 16 Ulu
Akses Agam-Pasaman Barat Kembali Dibuka Usai Longsor
Lima Hari Terjebak, Warga Aceh Tamiang Bertahan dengan Air Lumpur
Senyum Kembi di Aceh Tamiang: Air Bersih Akhirnya Tiba Usai Sepuluh Hari Penderitaan