KUHAP Nasional Dinilai Ancam Hak Terdakwa, Lebih Buruk dari Hukum Kolonial?

- Kamis, 20 November 2025 | 16:25 WIB
KUHAP Nasional Dinilai Ancam Hak Terdakwa, Lebih Buruk dari Hukum Kolonial?

KESAKSIAN Vs KETERANGAN: "Mengapa KUHAP Nasional Justru Lebih Buruk dari Warisan Kolonial?"

Oleh M Yamin Nasution, S.H

Ketua Bidang Advokasi Partai Negoro

Penggunaan frasa "Vs" di sini bukan berarti penegakan hukum itu seperti pertandingan sepak bola, ya. Seperti pernah diungkapkan ahli pidana dari Universitas Indonesia, ini lebih ke soal satuan linguistik yang punya makna sendiri. Intinya, negara harus berpikir lebih jauh dari sekadar menghukum.

Nah, tulisan ini sendiri sebenarnya adalah bentuk kritik akademis terhadap KUHAP Nasional yang baru disahkan. Dampaknya nanti bakal sangat terasa, terutama buat para terdakwa di masa depan.

Dalam perdebatan hukum acara pidana, orang sering menganggap remeh perbedaan antara kesaksian dan keterangan. Padahal, di balik dua istilah ini tersimpan fondasi paling penting dalam proses peradilan pidana: cara negara membuktikan kesalahan seseorang. Yang bikin miris, perbedaan mendasar ini justru dibiarkan kabur dalam praktik kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan. Kini dengan disahkannya KUHAP Nasional, kekaburan itu malah dilegalkan. Indonesia seperti bergerak mundur, bahkan lebih buruk dari hukum kolonial warisan Belanda.

Masalahnya berawal dari pemahaman yang salah kaprah. Semua orang yang berbicara di depan penegak hukum langsung dianggap "Saksi". Padahal dalam sistem hukum modern, saksi punya makna yang spesifik banget: seseorang yang benar-benar melihat, mendengar, atau mengalami langsung suatu peristiwa. Prinsip ini sudah ditegaskan sejak Code d'Instruction Criminelle Prancis tahun 1808. Pasal 331 sampai 337 dengan jelas memisahkan témoignage (kesaksian) dari déclaration de l'accusé (keterangan terdakwa). Saksi itu harus punya pengalaman inderawi langsung. Sementara terdakwa hanya memberikan penjelasan, bukan kesaksian, karena negara tidak boleh memaksa seseorang menjadi saksi terhadap dirinya sendiri.

Belanda pun mengikuti prinsip yang sama. Pasal 342 Wetboek van Strafvordering (Sv) menyatakan bahwa saksi adalah mereka yang memberikan keterangan berdasarkan eigen waarneming, alias penglihatan atau pengalaman langsung. Pelapor bukan otomatis jadi saksi. Bahkan Pasal 341 Sv melarang pengakuan terdakwa dijadikan satu-satunya alat bukti untuk menjatuhkan pidana. Prinsip "nemo tenetur se ipsum accusare" dijaga ketat - tidak seorang pun boleh dipaksa menuduh dirinya sendiri bersalah.

Tapi ketika Belanda membawa hukum acara ke Hindia Belanda, asas-asas bagus tadi justru dipreteli. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) mencampur-adukkan pelapor, saksi, korban, terdakwa, dan ahli dalam satu kategori besar bernama "keterangan". Kolonialisme memang tidak butuh pengadilan yang adil, yang mereka butuhkan cuma pengakuan - mirip seperti era sebelum Masehi yang disebut Cicero. Budaya pengakuan ini ternyata bertahan lama, begitu kuat sampai KUHAP 1981 harus membangun ulang seluruh pondasi pembuktian. Pasal 1 angka 27 mengembalikan definisi saksi seperti tradisi Eropa continental, yaitu pengalaman langsung. Pasal 189 memisahkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang berbeda. KUHAP 1981 sebenarnya upaya memutus rantai kolonial, sayangnya dalam praktiknya tetap keliru dipahami selama puluhan tahun.

Yang bikin sedih, upaya baik itu kini malah direvisi mundur. KUHAP Nasional yang baru disahkan justru mengaburkan lagi batas antara Kesaksian dan Keterangan. Definisi saksi diperlonggar, membuat siapa pun yang berbicara bisa diperlakukan sebagai saksi. Keterangan elektronik bisa menggantikan pengalaman langsung. Negara nggak lagi wajib membuktikan peristiwa lewat saksi faktual; cukup lewat data dan keterangan yang belum tentu diuji secara kontradiktif. Ini jelas kemunduran serius dalam standar pembuktian.

Lebih parah lagi, KUHAP baru membuka ruang lebih besar buat praktik Saksi Mahkota. Seseorang yang seharusnya berstatus terdakwa bisa dijadikan saksi terhadap terdakwa lain - teknik yang dulu dipakai hukum kolonial untuk memecah solidaritas para tertuduh. Padahal dalam tradisi Prancis maupun Belanda, crown witness hanya bisa digunakan dengan syarat ketat, dan tidak pernah menjadikan pelaku sebagai saksi dalam perkara yang sama. Di Indonesia, ruang ini malah diperluas, meski Mahkamah Agung sendiri pernah melarangnya dalam Putusan No. 65 K/Pid/1969 tentang Pemisahan Berkas Perkara, Minimnya Bukti dan Minimnya Saksi. Bahkan dalam Putusan No. 1174 K/Pid/1994 secara tegas menolak demi fair trial. Soalnya, dalam perkara penyertaan (delneming) bila pelaku menuduh pelaku lain melakukan kejahatan, secara prinsip dia sedang menuduh diri sendiri, atau sebaliknya bisa bekerja sama dengan manipulasi kesaksian.

Prinsip nemo tenetur kembali dipertaruhkan. Ketika pelaku yang tindakannya lebih ringan dipaksa jadi saksi, dia sebenarnya dijadikan alat untuk membuktikan kesalahan orang lain - apalagi jika keterangannya diperoleh dari situasi ketergantungan, tekanan, atau takut ancaman hukuman. KUHAP baru tidak memberikan batasan memadai untuk mencegah penyalahgunaan. Inilah titik paling mengkhawatirkan: hukum acara yang seharusnya melindungi terdakwa justru memberi negara alat untuk menekan mereka satu per satu.

Jadinya kita menghadapi ironi pahit. Peradilan pidana Indonesia tidak sedang bergerak menuju sistem modern, malah balik lagi ke pola colonial, tanpa perlindungan sesuai hukum modern Prancis atau Belanda. Indonesia seperti mempertahankan teks Eropa kontinental, tapi menjalankan praktik inquisitorial khas abad ke-19. KUHAP Nasional seharusnya jadi tonggak pembaruan, tapi justru menjauh dari standar pembuktian yang menghormati martabat manusia dan hak-hak terdakwa.


Halaman:

Komentar