Di Balik Ucapan Manis, Beban Ganda Ibu Masih Jadi Kenyataan Pahit

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:06 WIB
Di Balik Ucapan Manis, Beban Ganda Ibu Masih Jadi Kenyataan Pahit

Hari Ibu tiba lagi. Media sosial pun ramai dengan lautan ucapan terima kasih, foto-foto lawas, dan puja-puji tentang pengorbanan tanpa batas. Semuanya terasa hangat, tak bisa dipungkiri. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini gambaran utuh tentang kehidupan seorang ibu? Atau jangan-jangan, kita cuma merayakan sebuah citra ideal yang sudah usang?

Di balik unggahan penuh bunga itu, kenyataannya seringkali jauh lebih kelam. Bagi banyak ibu, hari itu sama saja dengan hari kemarin. Bangun sebelum fajar, urus rumah, siapkan segala kebutuhan keluarga, lalu terjun ke pekerjaan entah di dalam atau luar rumah. Rutinitas yang nyaris tanpa henti. Melelahkan. Dan yang paling menyedihkan, semua itu dianggap wajar.

Peran ibu itu tak pernah tunggal. Coba lihat lebih dekat. Dalam satu waktu, dia adalah pengasuh utama, manajer keuangan rumah tangga, guru pendamping, sekaligus pencari nafkah. Semua peran itu berjalan berbarengan, saling tindih, dan jarang sekali ada pembagian yang adil.

Ketika mereka mengeluh lelah, respons yang datang biasanya cuma satu.

“Namanya juga ibu.”

Kalimat sederhana itu berbahaya. Ia mengubur kelelahan sebagai sesuatu yang harus diterima, bukan sebagai alarm bahwa ada yang tidak beres. Selama sang ibu masih bisa bertahan, beban itu seolah sah-sah saja untuk terus dipikul.

Masyarakat kita memang punya ekspektasi yang luar biasa besar. Ibu harus sabar, harus kuat, harus selalu ada. Bahkan ketika dia juga bekerja di kantor, tanggung jawab urusan domestik seakan tetap melekat sepenuhnya di pundaknya. Di sisi lain, kalau ada pihak lain yang turun tangan, itu disebut "membantu". Bukan kewajiban.

Narasi "ibu kuat" itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi memuji, di sisi lain membebani. Kita memuliakan ketahanan individunya, sementara sistem yang seharusnya menopang justru luput dari sorotan. Akhirnya, banyak ibu bertahan bukan karena situasinya adil, tapi karena memang tak punya pilihan lain.


Halaman:

Komentar