Di Balik Label Mewah: Kisah Perempuan Bangladesh yang Menopang Industri Fast Fashion

- Senin, 24 November 2025 | 20:00 WIB
Di Balik Label Mewah: Kisah Perempuan Bangladesh yang Menopang Industri Fast Fashion

Fast Fashion, Slow Rights: Wajah Lain Industri Garmen Global

Ada cerita yang jarang diungkap di balik gemerlap merek-merek fashion ternama. Sebagian besar pakaian yang kita kenakan ternyata dihasilkan oleh tangan-tangan perempuan di negara berkembang seperti Bangladesh. Mereka bekerja dengan upah rendah dan kondisi kerja yang jauh dari kata layak. Bayangkan, perempuan-perempuan ini harus memenuhi target produksi yang ketat dengan jam kerja panjang. Sementara itu, kehidupan mereka sendiri jauh dari sejahtera. Sungguh ironis, glamor merek global justru menutupi realita pahit yang dialami para buruh perempuan ini.

Faktanya, mayoritas buruh garmen di Bangladesh adalah perempuan muda dari keluarga miskin dengan pendidikan terbatas. Meski kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Bangladesh tak bisa dipandang sebelah mata, kondisi kesejahteraan mereka tetap memprihatinkan. Dari kacamata feminis, fenomena ini merupakan contoh nyata feminisasi tenaga kerja. Intinya, perempuan didorong masuk ke sektor pekerjaan yang seringkali bersifat eksploitatif dan tidak setara secara gender.

Penelitian terhadap industri garmen Bangladesh mengungkap hal menarik. Meski akses perempuan terhadap lapangan kerja meningkat, pemberdayaan sejati belum benar-benar tercapai. Kenapa? Karena pemberdayaan baru berarti ketika perempuan punya kontrol atas sumber daya dan agensi sosialnya. Sayangnya, industri garmen justru menempatkan perempuan pada posisi rentan. Upah rendah, risiko kekerasan seksual, diskriminasi, dan minimnya kesempatan promosi jabatan masih menjadi masalah utama.

Di sisi lain, sistem fast fashion ternyata memperburuk keadaan. Tuntutan produksi cepat dan massal memaksa perempuan bekerja lembur tanpa kompensasi memadai. Semua ini terjadi karena tekanan kontrak dengan brand besar. Yang lebih memilikan, pemerintah Bangladesh tampaknya lebih fokus menarik investasi asing dan mengejar pertumbuhan ekonomi ketimbang meningkatkan standar sosial dan perlindungan pekerja perempuan. Alhasil, perempuan pekerja menjadi "penyangga" sistem produksi murah yang rentan.


Halaman:

Komentar