Warung Kopi Pangku: Kisah Piluh di Balik Tenda Pinggir Jalan

- Minggu, 23 November 2025 | 10:54 WIB
Warung Kopi Pangku: Kisah Piluh di Balik Tenda Pinggir Jalan

Arsip VOC juga mengungkap bahwa rumah tinggal di pos-pos Belanda kerap berubah fungsi jadi rumah bordil. Di kota pelabuhan, prostitusi jalanan makin subur seiring bertambahnya jumlah tentara. Pada 1622, Gubernur Jenderal Coen mencoba menerapkan hukuman berat untuk menekan aktivitas seksual, tapi upaya itu nyatanya tidak membuahkan hasil.

Baru pada 1852, pemerintah kolonial mengeluarkan regulasi setelah kasus sifilis di kalangan tentara melonjak. Hartanto dan Hudiyanto dalam penelitian "Prostitusi di Semarang Pasca 1852" mencatat, Surat Keputusan Gubernur Jenderal 15 Juli 1852 mengalokasikan 20.000 florin untuk penanggulangan penyakit kelamin dan membentuk laporan mingguan "Wekelijksch Rapport der publieke Vrouwen te Semarang" mengenai Wanita Publik atau "openbare vrouwen".

Regulasi tersebut membuktikan bahwa prostitusi adalah fenomena yang terus ada, bergeser bentuk, tapi tak pernah benar-benar hilang. Dari sistem feodal Jawa sampai masa Hindia Belanda, praktik seksual berbayar tetap menjadi bagian dari mekanisme bertahan hidup di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Latar sosial ekonomi perempuan pelayan warung pangku

Di balik tirai warung kopi pangku, tersimpan kondisi sosial ekonomi yang memengaruhi perempuan yang bekerja di dalamnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari latar pendidikan rendah, minim keterampilan, dan dihimpit tekanan ekonomi yang tak ringan.

Penelitian Eko Setiawan berjudul "Menyingkap Fenomena Konstruksi Sosial Warung Pangku di Gresik", yang terbit dalam jurnal "Habitus: Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Antropologi", menyebut bahwa kebutuhan ekonomi mulai dari kebutuhan pokok hingga biaya rias dan pakaian menjadi pendorong utama perempuan bekerja di warung kopi pangku.

Eko menemukan bahwa perempuan yang diwawancarainya nyaris tidak punya pilihan pekerjaan lain, meski sebenarnya merasa tidak nyaman berhadapan dengan pelanggan laki-laki. Kondisi rumah tangga yang rentan perceraian juga mendorong sebagian perempuan memutuskan merantau dan mengambil pekerjaan yang dianggap lebih mudah dijalani. Mereka pun memilih mengabaikan stigma sosial, meski dampaknya tetap terasa dalam keseharian.

Menurut penelitian Ningrum (2016), warung kopi pangku juga berkaitan dengan proses komodifikasi tubuh yang dibahas dalam teori Theodor W. Adorno. Dalam masyarakat komoditas, produksi barang diarahkan untuk keuntungan semata, dan tubuh perempuan ikut terseret dalam standarisasi industri. Terutama ketika media membuka ruang bagi citra tubuh untuk dipamerkan dan dijual.

Pada akhirnya, fenomena kopi pangku menunjukkan bagaimana praktik yang tampak sederhana di warung-warung pinggir jalan ini justru terhubung dengan persoalan yang jauh lebih luas. Di tengah perubahan sosial dan berkembangnya wacana perlindungan pekerja perempuan, keberadaan warung kopi pangku menjadi penanda bahwa sebagian dinamika tersebut nyaris tidak bergeser sejak masa kolonial.

Ke depan, bagaimana praktik ini akan diperlakukan sangat bergantung pada kebijakan daerah, kondisi ekonomi lokal, serta cara masyarakat memaknai ruang yang ditempati para pekerjanya.

Penulis: Zulfa Salman


Halaman:

Komentar