Warung Kopi Pangku: Kisah Piluh di Balik Tenda Pinggir Jalan

- Minggu, 23 November 2025 | 10:54 WIB
Warung Kopi Pangku: Kisah Piluh di Balik Tenda Pinggir Jalan

Bagi warga yang tinggal di sepanjang jalur Pantura, istilah "kopi pangku" atau "kopi pangkon" mungkin sudah tak asing lagi di telinga. Tapi bagi banyak orang di luar sana, istilah ini baru dikenal setelah Reza Rahadian menghadirkannya lewat film "Pangku" (2025) yang disutradarainya.

Film itu sendiri bercerita tentang Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang terdesak kebutuhan ekonomi lalu bekerja di warung kopi pangku milik Maya (Christine Hakim) di pesisir Jawa. Hidupnya pun terjebak dalam dilema yang pelik. Di satu sisi, ada tuntutan untuk bertahan hidup. Di sisi lain, ada rasa bersalah yang mencekik sebagai seorang ibu.

Konflik yang dialami Sartika sebenarnya masih bisa kita temui hari ini. Coba saja melintas di jalur Pantura menuju Cirebon, Tegal, atau Semarang. Warung kopi pangku bertebaran di beberapa titik. Sesuai namanya, warung tenda di pinggir jalan ini tak hanya menawarkan kopi, tapi juga perempuan pendamping. Inilah wajah lain dari praktik prostitusi yang masih hidup di tengah masyarakat.

Menelusuri asal-usulnya, model warung kopi pangku sering dikaitkan dengan tradisi minum tuak di Gresik. Ningrum dalam penelitian "Lika-Liku Kehidupan Perempuan Pekerja Warung Kopi Pangkon" (2016) mencatat, kebiasaan berkumpul untuk menikmati minuman ini lambat laun menciptakan ruang sosial yang berkembang jadi warung kopi pangku. Interaksi yang panjang antara pengunjung dan perempuan pendamping menjadi kuncinya.

Ningrum juga melihat fenomena ini tak lepas dari perkembangan budaya konsumsi modern. Ia mengutip teori Jean P. Baudrillard yang menyatakan bahwa masyarakat kini lebih sering membeli barang berdasarkan citra, bukan fungsi semata. Pola itu ternyata berlaku juga di warung pangku. Tampilan warung yang sengaja dibiarkan sederhana dan cara pelayan perempuan ditampilkan, semuanya dirancang untuk menciptakan citra tertentu yang diinginkan konsumen.

Di mata publik, warung kopi pangku kerap jadi bahan perdebatan moral. Tapi kalau kita lihat lebih jauh, konteks sejarahnya justru menunjukkan kaitan erat dengan faktor ekonomi, relasi kuasa, dan dinamika urban sejak zaman kolonial dulu.

Menelusuri jejak panjang perdagangan seks di Nusantara

Dalam peta sejarah yang lebih luas, warung kopi pangku sebenarnya hanya satu dari sekian banyak bentuk dinamika perdagangan seks yang sudah berlangsung berabad-abad di Indonesia. Barbara Watson Andaya dalam riset "Historical Perspectives on Prostitution in Early Modern Southeast Asia" (2001) mencatat, praktik seks berbayar di Asia Tenggara berkaitan erat dengan budaya pergundikan di istana, ketimpangan ekonomi antara desa dan kota, serta meluasnya kemiskinan.

Barbara juga menyebut bahwa sejumlah istilah terkait pelacuran dalam bahasa Indonesia maupun Jawa kemungkinan terpengaruh konsep dari luar. Kata "sundal" misalnya, dalam kajian linguistik diperkirakan berasal dari kata Sanskerta "candala", meski etimologi ini tidak tunggal karena tiap daerah punya variasi penggunaan sendiri-sendiri.

Perkembangan perdagangan seks makin jelas terlihat di kota-kota besar seperti Batavia, Makassar, dan Melaka. Semuanya tumbuh seiring datangnya pedagang Tionghoa dan Eropa yang datang tanpa membawa keluarga. Pada 1730-an, data arsip VOC menunjukkan laki-laki Tionghoa mencapai sekitar 20 persen penduduk Batavia dengan jumlah dua kali lipat dari perempuan. Ketimpangan gender inilah yang kemudian melahirkan praktik "istri sementara", pergundikan, sampai pembelian budak perempuan untuk pekerjaan domestik dan seksual.

Barbara menulis, para budak ini sering dijual kembali dan sebagian dipaksa menjadi pelacur.


Halaman:

Komentar