Bob yakin tren ini bukan sekadar euforia sesaat. Dia memperkirakan momentum positif akan terbawa hingga tahun depan. Dengan pendapatan seluler yang meningkat dan efisiensi biaya yang terus dijalankan, EBITDA industri diproyeksi tumbuh dengan CAGR 6-7 persen pada periode 2025-2027. Bahkan laba bersih inti diprediksi melesat lebih cepat, dengan CAGR 12,7 persen.
Di sisi lain, analis BRI Danareksa Sekuritas, Kafi Ananta, punya pandangan serupa. Dia menilai sektor ini sedang menuju fase pertumbuhan yang lebih modern, didorong oleh rasionalisasi harga paket data dan perbaikan ARPU yang berkelanjutan.
Fokus operator, tambahnya, kini bergeser. Dari sekadar mengejar jumlah pelanggan baru, beralih ke upaya memonetisasi ARPU yang ada. Strateginya berubah.
Selain itu, Kafi melihat ada potensi katalis lain yang sedang diincar operator: divestasi aset fiber. Langkah ini diambil untuk menekan belanja modal sekaligus meningkatkan arus kas. Telkom Indonesia (TLKM), misalnya, baru memisahkan bisnis aset fiber-nya ke dalam InfraNexia. Sementara EXCL disebut-sebut sedang dalam proses melepas bisnis fiber sepenuhnya, termasuk aset MORA.
Dari sekian banyak saham telekomunikasi, TLKM kerap disebut paling menarik. Statusnya sebagai BUMN telekomunikasi plus penataan portofolio infrastrukturnya memberi nilai tambah. CGS International mematok target harga TLKM di level Rp4.100 dengan rekomendasi ADD. Sedangkan BRI Danareksa lebih konservatif, dengan target Rp4.000 dan strategi 'unlocking value'.
Tapi jangan lupakan EXCL. Indo Premier Sekuritas (IPOT) justru menjagokan saham ini, melihat lonjakan yield data-nya yang terkuat di antara para pemain sejenis. Peta persaingan di sektor telekomunikasi ternyata masih menyimpan kejutan.
Artikel Terkait
BNI Siapkan Rp 636 Miliar dan Tim Siaga 24 Jam untuk ATM Nataru di Suluttenggomalut
Tiket KAI Ludes 91,5% untuk Mudik Nataru, Malam Natal Jadi Puncak Keramaian
DKI Jakarta Pertahankan Tahta UMP Tertinggi 2026, Dua Provinsi Tertinggal
Tiga Saham Gila-Gilaan Dipindahkan ke Papan Khusus BEI