Rumah bergaya klasik itu punya halaman rumput yang selalu hijau. Di sanalah Moka, seekor kucing betina, tinggal bersama ketiga anaknya: Bubu si pemberani, Nini yang hatinya lembut, dan Toto si bungsu yang lincah tapi mudah cemburu. Mereka dikelilingi kasih sayang dari keluarga manusia pemilik rumah.
Rutinitas pagi mereka hampir tak pernah berubah. Sinar matahari yang menerobos tirai ruang tamu jadi penanda waktu sarapan. Moka selalu memastikan anak-anaknya berkumpul di sekitar mangkuk mereka.
“Minum susu dulu sebelum kalian lari-lari,” bisik Moka dengan nada lembut.
“Iya, Bu!” sahut mereka serempak.
Hidup berjalan tenang dan menyenangkan. Mereka menghabiskan waktu dengan tidur di sofa empuk, kejar-kejaran mengejar titik cahaya senter, atau berebut bantal terhangat sambil menonton televisi. Tapi kedamaian itu ternyata tidak abadi.
Datangnya Seseorang yang Baru
Suatu sore, tepat setelah hujan reda. Udara masih terasa lembap dan segar. Langkah kaki manusia mendekati pintu depan, membangunkan Bubu, Nini, dan Toto dari tidur siang mereka.
Kreek…
Pintu terbuka. Anak manusia pemilik rumah masuk, membawa koper kecil. Namun yang membuat semua kucing terkesiap bukanlah koper itu. Melainkan gumpalan bulu berwarna putih salju yang digendongnya. Seekor anak kucing. Matanya bulat, biru jernih bagai langit, tapi penuh dengan ketakutan.
“Dia akan tinggal bersama kita sekarang. Namanya Lala,” kata si manusia sambil tersenyum.
Moka mendekat, menciumi tubuh mungil itu. “Kamu masih sangat kecil,” gumamnya penuh perhatian.
Tapi di belakangnya, ketiga anak kucingnya diam membeku. Reaksi mereka jauh dari hangat.
Bubu mengernyitkan dahinya. Toto mendesis pelan, hampir tak terdengar. Sementara Nini hanya menunduk, ragu untuk mendekat.
“Kenapa harus ada kucing baru lagi?” gerutu Toto lirih.
“Kita berempat ini kan sudah pas,” sambung Bubu, setengah membenarkan.
Lala menatap mereka dengan mata yang masih gugup. Ia mencoba mengeong kecil, menyembunyikan rasa takutnya. Tidak ada tanggapan. Hari pertamanya terasa begitu dingin, meski udara di dalam rumah ini sebenarnya cukup hangat.
Jarak yang Tak Terucap
Hari-hari berikutnya punya ritme baru. Sayangnya, tidak semuanya berjalan mulus.
Pada waktu makan, Lala selalu duduk agak menjauh. Ia takut ikut berebut. Saat ada bola kertas digulung-gulungkan, Nini sering pura-pura tidak melihatnya. Kalau Lala coba mendekati Bubu, ia hanya akan dibalas dengan punggung yang berbalik. Dan Toto ah, Toto paling vokal. “Dia kok selalu ikut-ikutan kita sih?” keluhnya pada yang lain. “Harusnya belajar mandiri dulu dong.”
Lala mendengar semuanya. Tapi ia tetap berusaha bersikap baik. Membantu Moka merapikan bulu, mengikuti kakak-kakaknya dari kejauhan agar tak dianggap mengganggu, lalu tidur sendiri di sudut dapur yang sepi. Ia tak mau merebut tempat siapa pun.
Meski begitu, di malam hari, air matanya kerap jatuh. Ia merindukan kehangatan induknya yang mungkin tak akan pernah ia temui lagi.
Moka menyaksikan semuanya. Hatinya iba, tapi ia tak mau memaksa. Cinta butuh waktu untuk tumbuh, pikirnya. Ia hanya bisa berharap.
Malam yang Mengubah Segalanya
Hingga suatu malam, langit seakan marah.
Artikel Terkait
Pascabencana, Mendikbud Siapkan Tiga Skenario Belajar untuk Siswa di Tiga Provinsi
Gempa Dangkal M 4,5 Guncang Bener Meriah, Getaran Terasa Kuat
29 Kapal Patroli Dikerahkan Jaga Arus Mudik Natal dan Tahun Baru
Anggaran Bansos dan Subsidi Melonjak ke Rp1.300 Triliun di 2026