Ali pernah menukar cangkul dan kursinya dengan tiga karung sorgum. Kisahnya itu menggambarkan betapa uang telah kehilangan makna.
“Pengemudi ojek dan tuk-tuk sekarang dibayar dengan bahan bakar atau sabun,” tambah Al Sadiq Issa, seorang relawan lokal. Transaksi sehari-hari pun mengandalkan pertukaran barang.
Di sisi lain, situasi keamanan yang terus memburuk memperparah segalanya. Pendudukan RSF di Kota El Fasher belum lama ini, yang disertai pembantaian warga sipil, semakin memperlebar kekacauan nasional dan memutus jalur pasokan. Harga beras, tepung, dan bahan bakar bisa berubah dalam hitungan jam. Pedagang enggan menerima uang tunai karena nilainya bisa berbeda saat matahari terbenam.
Jalan keluar dari krisis ini masih tampak buram. Pertempuran antara pasukan pemerintah dan RSF terus berkecamuk tanpa tanda-tanda akan mereda. Selama mesin perang masih berjalan, upaya pemulihan ekonomi ibarat mimpi di siang bolong.
Para pengamat sudah memperingatkan. Tanpa gencatan senjata yang nyata, Sudan berisiko mengalami keruntuhan total sebuah bencana yang skala kehancurannya bisa menyamai atau bahkan melampaui apa yang pernah terjadi di Zimbabwe dan Venezuela. Negeri ini kini benar-benar masuk ke fase paling gelap: saat uang tak lagi bernilai, dan harapan pun menipis.
Artikel Terkait
Saham Superbank (SUPA) Melonjak 24% di Debut Perdana BEI
OJK Tegaskan Pemberi Pinjaman Bertanggung Jawab Penuh atas Tindakan Debt Collector
VinFast Siapkan Motor Listrik di Pabrik Subang, Rencana Luncur 2026
Prabowo Langsung Turun Tangan Usai Laporan 700 Ribu Anak Papua Belum Sekolah