Perubahan perilaku konsumen ini direspons dengan cepat oleh beberapa merek, terutama dari China. Para produsen ini dinilai berusaha memenuhi permintaan pasar akan fitur-fitur lengkap dengan harga kompetitif.
"Pemain besar dari China membangun ekosistem yang terintegrasi, mulai dari energi, layanan purna jual, hingga digitalisasi pengalaman berkendara. Mereka tidak hanya menjual mobil, tetapi menawarkan solusi mobilitas untuk manusia modern," papar Yannes.
Situasi ini menjadi tantangan serius bagi pabrikan mapan, khususnya dari Jepang, yang selama ini berada di zona nyaman. Kondisi industri otomotif nasional yang disebut berada dalam fase VUCA (volatile, uncertain, complex, ambiguous) menuntut semua pemain untuk lebih lincah dan adaptif.
"Dalam situasi pasar yang penuh ketidakpastian, merek-merek tradisional dari Jepang dan Eropa berisiko mengalami nasib seperti Kodak atau Blackberry. Keterlambatan dalam mengantisipasi perubahan besar akibat bertahan di zona nyaman adalah ancaman terbesar," tegasnya.
Ketergantungan pada warisan loyalitas pelanggan, teknologi lama, dan model bisnis yang sudah ketinggalan zaman justru dapat membuat mereka kalah bersaing ketika terjadi disrupsi.
Langkah Strategis Menghadapi Perubahan Pasar
Untuk tetap relevan, pabrikan lama perlu mengambil langkah-langkah strategis. Beberapa di antaranya adalah mempercepat program elektrifikasi, membuka peluang kolaborasi dengan perusahaan dari berbagai negara, serta menata ulang rantai pasok dan model bisnis mereka.
Tanpa adaptasi dan inovasi yang cepat, merek-merek mapan tersebut berisiko kehilangan relevansi di pasar otomotif Indonesia yang semakin dinamis dan kompetitif.
Artikel Terkait
Ekonomi Inggris Tumbuh Tipis 0,1% di Kuartal III 2025, Sektor Manufaktur Kontraksi Akibat Serangan Siber
Typical Pontianak Rilis EP Perdana 217, Wadah Perlawanan Lewat Lirik Hardcore
Maya Susmita: Profil, Prestasi, dan Filosofi Pelatih Wanita Timnas Indonesia
Javier Milei Absen dari KTT G20, Ikuti Jejak Boikot Donald Trump