Ahli sosiologi ini menyoroti praktik manipulasi informasi yang sengaja menggiring opini publik keluar dari konteks aslinya. Trubus mengingatkan bahwa manipulasi informasi jelas dilarang dalam Pasal 35 UU ITE.
"Apa yang disampaikan Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan kriminal ataupun kebencian, melainkan menjadi korban manipulasi informasi," tegasnya.
Dukungan dari Ahli Analisis Perilaku
Pendapat Trubus diperkuat oleh Gusti Aju Dewi, pakar analisis perilaku yang juga hadir sebagai saksi ahli. Dewi menegaskan bahwa potongan informasi sering digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.
"Zaman sekarang perang bukan dengan senjata api, tetapi dengan informasi yang diselewengkan. 90 persen kebenaran bisa menjadi bukan kebenaran karena 10 persen informasi sengaja dihilangkan," ungkap Dewi.
Digital Forensik Bisa Ungkap Pelaku Disinformasi
Gusti Aju Dewi menekankan bahwa teknologi digital forensik dan AI dapat melacak penyebar DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian).
"Dengan teknologi AI, mudah dilakukan digital forensik untuk menelusuri siapa yang pertama kali mengeluarkan narasi-narasi DFK," jelasnya.
Kesaksian kedua ahli ini menguatkan indikasi bahwa opini negatif terhadap DPR dan Ahmad Sahroni bukan muncul secara alami, melainkan hasil dari penggiringan opsi terstruktur di media sosial.
Artikel Terkait
Analisis Hendri Satrio: Makna Tersembunyi PROJO Gabung Gerindra & Ganti Logo Jokowi
Drone Emprit Ungkap Penggiringan Opini Demo DPR Akhir Agustus 2025
Duta DPD 2025 Resmi Diluncurkan, Perkuat Asta Cita Prabowo ke Daerah
Reaksi Jokowi Dengar Logo Wajahnya Dihapus Projo: Tak Dipermasalahkan