Meski pemerintah berhak mengatur sektor energi, kebijakan ini berpotensi bermasalah ketika semangat "mengatur demi kesejahteraan publik" bergeser menjadi "mengunci pasar demi kepentingan satu entitas". Hasilnya, pilihan konsumen semakin terbatas sementara kekuasaan pasar terpusat pada Pertamina.
Dampak terhadap Pasar dan Investasi
Kebijakan sepihak ini mengirim sinyal buruk kepada dunia usaha. Tanpa dialog lintas-sektor dan peta jalan yang jelas, Indonesia dinilai tidak memiliki kepastian regulasi (regulatory predictability). Investor menganggap kebijakan semacam ini sebagai red flag.
Ketika kepastian hukum dan kompetisi terganggu, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3%-5,5% per tahun akan sulit tercapai. Dampak lanjutannya jelas: investasi menurun, lapangan kerja menyempit, dan roda ekonomi melambat.
Implikasi terhadap Demokrasi Ekonomi
Lebih dari sekadar urusan bahan bakar, kebijakan energi yang tidak prediktif menciptakan efek domino pada demokrasi ekonomi. Kebijakan yang menutup ruang pilihan terasa seperti langkah mundur, seolah mengembalikan masyarakat pada masa ketika negara menentukan segalanya.
Kedaulatan energi tidak seharusnya berarti monopoli. Negara perlu hadir menjamin akses dan keterjangkauan BBM bersubsidi, namun tetap membuka ruang kompetisi sehat untuk segmen non-subsidi. Kedaulatan energi yang sejati hanya dapat tercapai melalui transparansi, persaingan yang adil, dan penghormatan terhadap kebebasan konsumen.
Adrian Azhar Wijanarko. Dosen pada Fakultas Ekonomi & Bisnis di Universitas Paramadina dan Director of Research di lembaga Paramadina Public Policy. Adrian menaruh perhatian pada isu Manajemen dan kebijakan publik di Indonesia.
Artikel Terkait
Donald Trump Ancam Kirim Pasukan AS ke Nigeria, Ini Kata Pentagon
Museum Agung Mesir Resmi Dibuka, Pamerkan 100.000 Harta Karun Tutankhamun
Cuaca Jakarta Hari Ini: Siang-Sore Hujan Ringan di Jaksel, Jakpus, Jakbar
Pasukan Khusus Ukraina Dikerahkan ke Pokrovsk Hadang Serangan Gencar Rusia