Kisah seorang nenek yang tak bisa membeli sepotong roti karena uang tunainya ditolak, ternyata bukan sekadar persoalan kecil. Itu menyentuh urusan hukum yang serius. Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI, dengan tegas mengingatkan hal ini. Menurutnya, rupiah adalah alat bayar sah di seluruh Indonesia dan penolakannya oleh pedagang adalah pelanggaran.
"Sesuai undang-undang, rupiah adalah alat pembayaran yang sah dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan bagi pihak mana pun menolak penggunaan mata uang rupiah di dalam negeri,"
tegas Said dalam keterangan tertulisnya, Jumat lalu.
Ia merujuk pada UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Poinnya jelas: menolak rupiah itu berisiko pidana. Bagi pedagang atau merchant yang nekat, ancamannya bisa setahun penjara atau denda yang tak main-main hingga Rp 200 juta. Said, yang juga Ketua DPD PDIP Jawa Timur ini, menilai banyak pihak masih menganggap remeh soal ini. Padahal, konsekuensinya nyata.
"Kita perlu mengedukasi masyarakat agar tidak sembarangan menolak pembayaran memakai rupiah, karena itu bisa berkonsekuensi pidana,"
jelasnya.
Di sisi lain, Said tak menampik bahwa tren pembayaran digital memang semakin menggurita. DPR dan pemerintah pun mendukung digitalisasi itu. Namun begitu, ia mengingatkan bahwa menghapus opsi tunai sama sekali adalah langkah yang terburu-buru. Realitanya, belum semua sudut negeri ini terjangkau internet. Literasi keuangan sebagian masyarakat juga masih perlu ditingkatkan.
Artikel Terkait
Polda Banten Ungkap 805 Kasus Narkoba Sepanjang 2025, Sabu dan Ganja Berkilogram Diamankan
30.000 Benih Lobster Ilegal Siap Kirim ke Singapura Digagalkan Polisi
Puncak Arus Balik Nataru Diprediksi Molor Hingga 4 Januari
Kim Jong Un Perintahkan Produksi Rudal Besar-besaran, Didorong Kebutuhan Militer dan Dukungan untuk Rusia