Ada juga inovasi seperti budidaya maggot atau rencana PLTSa yang terdengar menjanjikan. Namun begitu, kita harus kawal betul agar solusi-solusi ini tidak terjebak jadi proyek instan. Jangan sampai partisipasi publik dan aspek keberlanjutan ekologis justru diabaikan.
Pada akhirnya, solusi sejati mungkin terletak pada hal yang lebih mendasar: merevitalisasi nilai-nilai budaya kita sendiri. Gotong royong dan tepo seliro itu bukan sekadar kata-kata usang. Itu adalah etika publik yang masih sangat relevan untuk membangun kesadaran ekologis. Pendidikan lingkungan harus merasuk ke sekolah-sekolah dan komunitas, bukan sebagai pengetahuan teknis belaka, melainkan sebagai bagian dari pembentukan karakter.
Bayangkan, tindakan sederhana memilah sampah bisa menjadi semacam latihan spiritual. Mengasah kepekaan kita terhadap sesama dan semesta. Dengan begitu, urusan sampah naik level. Bukan lagi sekadar soal kebersihan kota, tapi menjadi cermin dari proses kita "menjadi" manusia manusia yang bertanggung jawab dan beradab.
Karakter Kolektif
Krisis ini sebenarnya adalah panggilan. Panggilan untuk membangun kesadaran baru bahwa kemajuan peradaban tidak diukur dari gedung pencakar langit atau kecanggihan teknologi semata. Tapi dari cara kita memperlakukan hal-hal yang paling dasar: bumi tempat kita berpijak, sesama manusia, dan tanggung jawab harian yang sering kita anggap remeh.
Di balik gunungan sampah yang menjijikkan itu, terselip peluang. Peluang untuk membentuk karakter kolektif yang lebih bijak, lebih peduli, dan ya lebih beradab.
Kalau kita bisa mulai memandang sampah bukan sebagai beban, melainkan sebagai cermin, maka pertanyaan mendasar akan muncul: nilai apa yang sebenarnya kita buang setiap hari? Lalu, nilai apa yang ingin kita wariskan untuk generasi mendatang?
Dalam proses memilah, mengolah, dan merawat, kita sesungguhnya sedang membentuk diri. Menjadi manusia yang tidak hanya bersih secara fisik, tetapi juga jernih secara batin. Mari tanggapi krisis ini bukan dengan keluhan dan saling menyalahkan. Tapi dengan komitmen nyata, sekecil apa pun, untuk membangun kota yang peduli.
Bernardus Agus Rukiyanto. Dosen Universitas Sanata Dharma.
Artikel Terkait
Barcode QR Yanduan: Polda Riau Pacu Transparansi Pengaduan Masyarakat
Kapolri Serukan Semangat Natal untuk Pemulihan Bangsa di Tengah Duka
Gas 3 Kg Dikurangi Hingga 0,45 Kg, SPBE di Serang Ditutup Sementara
Ragam Twibbon Natal 2025 Gratis, Siap Ramaikan Media Sosial