Proporsional Terbuka: Ketika Isi Tas Mengalahkan Isi Pikiran

- Selasa, 23 Desember 2025 | 10:30 WIB
Proporsional Terbuka: Ketika Isi Tas Mengalahkan Isi Pikiran

Partai tidak lagi jadi produsen kader terbaik. Ia sekadar jadi kendaraan politik untuk merebut kuasa. Orang masuk partai pun motifnya berubah. Bukan karena kecocokan ideologi, tapi lebih karena peluang terpilihnya besar.

Akibatnya, yang terjadi caleg sibuk mengumpulkan "isi tas" ketimbang memperdalam "isi otak" atau memperjuangkan ideologi partainya. Partai kehilangan sentuhan magisnya. Bahkan, ia cuma dianggap seperti stempel untuk melegalkan pencalonan.

Lihat saja alat peraga kampanye. Didominasi foto caleg besar-besaran, sementara logo partai kecil di pojokan. Padahal, secara hukum partai politiklah peserta pemilunya. Di lapangan, yang berperang justru para caleg untuk dapat legitimasi rakyat.

Rekomendasi

Dari dua masalah tadi, saya pikir proporsional terbuka masih bisa dipakai, asal memenuhi dua syarat untuk menghadirkan keadaban.

Pertama, pengaturan ketat soal politik uang. Ini tak boleh lagi cuma dianggap pelanggaran pidana biasa, tapi juga harus jadi pelanggaran administrasi. Misalnya, saat ada laporan, penanganannya dua jalur. Jalur pidana lewat Bawaslu untuk pemidanaan.

Kedua, jalur administrasi yang mandiri di Bawaslu juga, dengan ujung sanksi pencoretan dari daftar calon. Sanksinya harus maksimal, biar efek jerahnya kuat.

Lalu, aturan pencalonan juga perlu diubah. Calon yang diusung partai harus yang minimal satu tahun jadi anggota. Tujuannya, agar partai punya waktu mendidik dan mentransfer nilai perjuangannya. Jadi yang maju betul-betul kader yang terkaderisasi, bukan pendatang dadakan.

Dari sisi syarat terpilih, saya usulkan tetap pakai proporsional terbuka, tapi calon harus raih minimal 30% dari total suara partainya. Skema ini mirip dengan aturan di UU 10/2008. Logikanya sederhana: untuk mengatur standar legitimasi. Sama seperti pilkada DKI yang mensyaratkan >50% suara.

Pada akhirnya, debat konsep sistem pemilu boleh saja. Tapi fakta kekacauan di lapangan tak boleh dibiarkan terus. Jangan asal tiru sistem negara lain. Salah pilih sistem pemilu adalah investasi awal untuk mendegradasi demokrasi kita.

Semoga ikhtiar perbaikan melalui kodifikasi UU Pemilu yang baru bisa menghentikan produksi "kejahatan demokrasi" di negeri ini. Amin.

Supriatmo Lumuan. Ketua KPU Kabupaten Banggai Kepulauan periode 2023-2028.


Halaman:

Komentar