Warisan Nilai Pendiri PUI untuk Menyiapkan Generasi Penggerak Indonesia Emas 2045
Usia 108 tahun bukan sekadar angka. Tanggal 21 Desember 2025 nanti, Persatuan Ummat Islam (PUI) genap melangkah lebih dari satu abad. Usianya bahkan melampaui republik ini. Yang menarik, organisasi ini tak cuma bertahan. Ia terus bergerak, hidup sebagai sebuah gerakan nilai di tengah arus perubahan sosial dan politik yang tak pernah berhenti. Napas perjuangannya tetap sama: Islah, sebagai jalan untuk memperbaiki umat dan bangsa.
Milad kali ini tentu saja momentum untuk meneguhkan arah. Di sisi lain, Indonesia sendiri sedang bersiap menuju sebuah cita-cita besar bernama Indonesia Emas 2045. Lalu, pertanyaan besarnya muncul: sudahkah kita punya generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga punya karakter kuat, berakar pada nilai, dan orientasinya pada kemaslahatan bersama? Di sinilah, warisan nilai yang dibawa PUI selama ini menemukan relevansinya. Bukan cuma relevan, tapi terasa sangat strategis.
Islah: Bukan Slogan, Tapi Kerangka Bergerak
Sejak awal, PUI tak pernah memandang Islah sebagai slogan moral belaka. Bagi mereka, ini adalah kerangka berpikir sekaligus bertindak. Islah dimaknai sebagai proses perbaikan yang sadar dan berkelanjutan dimulai dari membenahi diri sendiri, lalu merambat ke tengah masyarakat. Agama, dalam pandangan ini, tak berhenti di ritual. Ia harus menjelma jadi energi yang mendorong perubahan sosial secara nyata.
Landasannya jelas, tertuang dalam Al-Qur'an bahwa kebaikan sejati terletak pada upaya memperbaiki keadaan manusia.
Spirit ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ bahwa manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Nilai itulah yang hidup dalam tradisi PUI. Kesalehan seseorang tak lagi cuma diukur dari ketaatan personal, tapi dari seberapa besar dia memberi manfaat bagi lingkungan sosialnya.
Teladan Para Pendiri: Ulama yang Turun ke Gelanggang
Gerakan Islah ini tak lahir dari teori kosong. Ia berakar dari pengalaman nyata para pendirinya, terutama KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi. Mereka menghadapi langsung realitas pahit di masa kolonial: kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Jawaban mereka pun konkret: pendidikan, dakwah, dan pengorganisasian umat. Bagi dua tokoh ini, Islam bukan alasan untuk mengurung diri. Justru sebaliknya, ia adalah sumber keberanian untuk bertindak dan mengubah keadaan.
Artikel Terkait
Ironi Sang Bupati: Pujian Ayah Berbalut Status Tersangka KPK
Singapura Perketat Pintu: 41.800 Pelancong Tertolak, Aturan Baru Siap Berlaku 2026
Hanukkah Berdarah di Bondi: Kisah Pilu Penyintas Holokaus dan Aksi Heroik yang Berakhir Tragis
Kapolri Turun ke Stasiun Tawang, Pastikan Arahan Presiden Soal Mudik Nataru Terwujud