Jaksa mendakwa bahwa pengadaan ini dilakukan tidak sesuai prosedur. Tanpa evaluasi harga yang matang, tanpa survei kebutuhan. Alhasil, perangkat yang seharusnya mencerdaskan anak bangsa itu diklaim gagal berfungsi, terutama di daerah-daerah terpencil (3T).
Namun begitu, Dodi kembali menangkis. Ia menyebut Nadiem sama sekali tidak pernah memberi perintah atau arahan khusus untuk memilih Chromebook. Posisi Nadiem, katanya, cuma memberikan pendapat atas masukan teknis dari konsultan, Ibrahim Arief, soal kelebihan Chrome OS dibanding Windows.
"Dakwaan ini mencampur adukkan kewenangan. Kebijakan menteri kok disamakan dengan pelaksanaan teknis pengadaan," protes Dodi.
Bahkan, ia berargumen justru negara diuntungkan. Pilihan pada Chrome OS disebutnya menghemat anggaran lisensi Windows yang bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Lagi pula, Chromebook itu didistribusikan ke sekolah yang infrastrukturnya sudah siap, bukan ke daerah 3T yang listrik dan internetnya masih bermasalah.
"Untuk daerah 3T, Nadiem punya program lain yang lebih tepat sasaran. Seperti Buku Bacaan Berkualitas, BOS Majemuk, atau pengangkatan guru honorer jadi ASN. Itu yang lebih dibutuhkan di sana," paparnya.
Sidang untuk Nadiem sendiri rencananya baru akan dimulai pekan depan. Saat ini, mantan menteri itu masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara itu, perdebatan antara pembelaan dan dakwaan jaksa terus memanas, meninggalkan publik menunggu bukti-bukti apa saja yang akan dibeberkan di persidangan nanti.
Artikel Terkait
Kapolda Riau Soroti Kunci SDM Polri: Adaptif, Kolaboratif, dan Jauhi Hedonisme
Di Balik Wangi Pala Ternate, Albert Kumpulkan Rupiah Demi Sekolah
Denpasar dan Singapura Jadi Primadona Libur Akhir Tahun di Soekarno-Hatta
Puncak Mudik Nataru Diprediksi Lebih Awal, Dishub DKI Siagakan 2.500 Personel