Tantangan di Balik Panggung COP30: Ujian Nyata Indonesia Setelah Konferensi

- Kamis, 20 November 2025 | 13:55 WIB
Tantangan di Balik Panggung COP30: Ujian Nyata Indonesia Setelah Konferensi

Konferensi COP30 di Belém jelas bukan acara biasa. Ini adalah arena baru bagi pertarungan diplomasi iklim global. Indonesia datang dengan segudang ambisi: mengejar keadilan iklim, mendorong transisi energi, menguatkan pasar karbon, dan tentu saja, mengamankan dana segar untuk perlindungan hutan. Tapi, tantangan sebenarnya justru menunggu setelah panggung konferensi itu padam dan para delegasi pulang ke negaranya masing-masing.

Di antara banyak agenda, yang paling menarik perhatian adalah peluncuran Tropical Forest Forever Facility atau TFFF. Sebuah fasilitas pendanaan global baru yang diharapkan bisa menjadi penjaga masa depan hutan tropis. Indonesia dan Brasil adalah dua negara yang paling getol mendorong skema ini, yang mereka anggap sebagai terobosan untuk menyelamatkan hutan tropis dari tekanan ekspansi industri yang tak kunjung reda.

TFFF: Ada Peluang, Ada Juga Risiko

Dirancang sebagai model pendanaan multilateral, TFFF menggabungkan dana publik dan swasta yang akan diberikan langsung kepada mereka yang menjaga hutan. Kabarnya, setidaknya 20 persen dari total dana dialokasikan khusus untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Bank Dunia akan bertindak sebagai wali dana global, sementara di tingkat nasional, kemungkinan besar pengelolaannya akan melalui BPDLH.

Bagi Indonesia, skema ini jelas membuka peluang besar. Akses ke miliaran dolar untuk konservasi hutan, restorasi gambut, dan implementasi FOLU Net Sink 2030 kini terlihat lebih nyata. Pendanaan ini berpotensi menjadi penopang penting bagi kebijakan hijau yang selama ini kerap terbentur masalah dana.

Tapi, di sisi lain, kritik pun langsung bermunculan. WALHI, Aliansi Sulawesi, dan sejumlah jaringan masyarakat sipil menilai TFFF belum menyentuh akar persoalan deforestasi. Mereka menyoroti fakta bahwa eksploitasi hutan untuk industri skala besar masih terus berjalan, bahkan saat pembiayaan iklim global mengalir masuk. Kritik ini mengingatkan kita bahwa pendanaan saja tidaklah cukup. Tata kelola harus dibenahi, terutama soal transparansi dan bagaimana manfaatnya benar-benar sampai ke tingkat tapak.

Bagaimana Dana Itu Mengalir?

Salah satu nilai jual TFFF adalah janji penyaluran dana yang langsung, tanpa birokrasi berbelit. Mekanismenya memang masih disesuaikan, tapi beberapa prinsip dasarnya sudah jelas.

Pertama, dana akan diberikan berdasarkan hasil perlindungan hutan yang sudah diverifikasi. Kedua, penyalurannya akan melibatkan lembaga perantara lokal dan organisasi masyarakat sipil. Ini penting untuk memastikan dana benar-benar sampai ke masyarakat adat, bukan tersangkut di tengah jalan.

Ketiga, tata kelola TFFF di tingkat nasional wajib memiliki perwakilan masyarakat adat. Jangan sampai keputusan soal pendanaan masih terpusat di Jakarta saja. Keempat, akses dana ini akan sangat terkait dengan pengakuan formal hutan adat. Tanpa pengakuan itu, akses akan sulit didapat.

Dan yang terakhir, sistem pemantauannya harus ketat. Harus ada kriteria pengecualian yang jelas agar dana tidak malah mengalir ke aktor-aktor yang justru terlibat dalam perusakan hutan. Skema ini menuntut transparansi penuh. Tanpa itu, TFFF bukannya jadi solusi, malah bisa berubah menjadi beban baru.

COP30 dan Panggung Diplomasi Indonesia


Halaman:

Komentar