Harmoni atau Benturan? Hubungan HAM dan Kearifan Lokal di Indonesia

- Sabtu, 01 November 2025 | 11:25 WIB
Harmoni atau Benturan? Hubungan HAM dan Kearifan Lokal di Indonesia

HAM dan Kearifan Lokal: Harmoni atau Benturan di Indonesia?

Oleh: Makdang Edi (Suryadi Z)

HAM dalam Pusaran Individualisme Barat dan Kolektivisme Timur

Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut sebagai puncak peradaban modern, lahir dari rahim individualisme Barat yang menekankan hak-hak individu yang tak dapat dicabut. Namun, ketika konsep HAM memasuki dunia Timur seperti Indonesia, ia bertemu dengan jiwa kolektif yang sangat berbeda. Masyarakat Nusantara memandang manusia sebagai bagian integral dari semesta, keluarga, dan tanah leluhur, bukan sebagai individu yang terisolasi.

Kehormatan dalam budaya Nusantara diukur dari kemampuan menjaga keseimbangan antara diri, sesama, dan alam. Nilai-nilai seperti adat, rasa malu, gotong royong, dan tenggang rasa telah hidup jauh sebelum istilah HAM dikenal, membentuk fondasi sosial yang kokoh.

Benturan Dua Dunia: HAM vs. Adat Istiadat

Ketegangan muncul ketika HAM berbasis hukum dan kebebasan individu Barat diterapkan dalam ruang sosial Nusantara yang mengutamakan kebersamaan dan harmoni. Beberapa contoh benturan ini termasuk:

  • Larangan adat terhadap ekspresi tertentu yang dianggap tidak sopan, yang bisa dianggap pelanggaran kebebasan berekspresi dalam frame HAM Barat.
  • Sanksi sosial atau ritual adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan komunitas, tetapi berpotensi dilihat sebagai pelanggaran hak individu dalam perspektif HAM modern.

Ketegangan filosofis ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah manusia bebas sepenuhnya atas dirinya, atau terikat oleh nilai-nilai komunal dan kosmik?

HAM Universal vs. HAM Kontekstual: Mana yang Relevan untuk Indonesia?

Pertanyaan tentang universalitas HAM menjadi sentral. Sementara Barat mendorong HAM universal, Indonesia memiliki dasar filosofis yang berbeda. Para pendiri bangsa seperti Soepomo, perancang UUD 1945, menegaskan paham kekeluargaan sebagai dasar negara. Manusia Indonesia dipandang sebagai "pribadi yang menyatu dengan masyarakat," bukan individu yang terpisah.

Inilah akar filosofis yang seharusnya melandasi tafsir HAM di Indonesia: bukan menolak HAM Barat, tetapi mengkontekstualisasikannya, mempribumikan, dan menghumanisasikannya dalam frame lokal.


Halaman:

Komentar