Pulang ke Ngawi, Menyembuhkan Lelah yang Tak Bisa Diatasi Tidur

- Kamis, 01 Januari 2026 | 02:36 WIB
Pulang ke Ngawi, Menyembuhkan Lelah yang Tak Bisa Diatasi Tidur

Keesokan sorenya, aku melaju dari Solo menuju Kabupaten Ngawi. Naik motor, perjalanan sekitar dua jam. Anginnya dingin. Tapi suasana berubah begitu hamparan sawah hijau mulai membentang di kanan-kiri jalan. Jalan desa semakin sepi, langit terasa lebih lapang. Entah kenapa, kepalaku ikut melonggar. Deadline dan pesan grup masih ada, tapi suaranya tak lagi sekeras sebelumnya. Seolah-olah aku diajak bernapas pelan-pelan, sebelum benar-benar sampai.

Begitu rumah mulai terlihat, kuratakan kecepatan. Suara motorku memecah sunyi jalan desa. Bahkan sebelum mesin benar-benar mati, dari dalam rumah sudah terdengar suara yang membuatku tahu aku ditunggu.

"Eh, sudah sampai yaaa?"

Atau sekadar panggilan namaku yang sederhana tapi hangat. Aku turun dari motor, melangkah mendekat. Pintu terbuka, dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu sama tapi selalu menenangkan menyambut lebih dulu.

"Gimana tadi perjalanannya? Pasti capek kan? Udah makan belum?"

Di sela pertanyaan itu, ada senyuman yang rasanya seperti mengatakan, "Kamu pulang."

Aku masuk, menaruh barang, lalu duduk sebentar. Mengobrol hal-hal kecil yang tidak penting, tapi justru membuat dadaku terasa lebih ringan. Aku ikut makan bersama. Setelah itu, mandi, ganti baju, merapikan badan yang seharian dibawa melawan angin. Saat air menyentuh kulit, rasanya seperti melepaskan semua yang menempel dari minggu yang panjang.

Barulah kemudian kubuka laptop. Membalas chat organisasi, mengerjakan tugas, menyusun hal-hal yang belum selesai. Rasanya berbeda. Bukan karena tugasnya lebih mudah, tapi karena di rumah, aku mengerjakannya tanpa rasa sendirian. Ada ketenangan yang membuat beban terasa lebih sunyi. Saat kututup laptop nanti, aku tak merasa bersalah. Juga tak merasa tertinggal.

Malamnya, aku tidur di kasur kamar yang kurindukan. Kasurnya mungkin biasa saja, tapi rasanya seperti tempat paling aman untuk memulihkan diri. Di sini, tidur bukan lagi pelarian, melainkan pemulihan. Di situlah aku mengerti sesuatu yang sederhana: kos bisa mengistirahatkan badan, tapi rumah memulihkan batin. Mungkin karena itulah aku rela pulang meski cuma dua tiga hari bukan untuk berhenti bekerja, tapi supaya aku bisa menjalani semuanya dengan lebih waras.

Liburku tetap singkat. Aku harus kembali ke Solo. Namun begitu, kali ini aku pulang membawa sesuatu yang sulit dijelaskan: energi yang lebih utuh, kepala yang lebih rapi, semangat yang kembali hidup. Akhirnya aku sadar, ternyata aku pulang bukan untuk berhenti.

Aku pulang untuk pulih.


Halaman:

Komentar