“Ada satu kemiripan pola yang kami amati,” sambung Leonard. “Sehingga kami menilai ini teror yang terjadi sistematis terhadap orang-orang yang belakangan banyak mengkritik pemerintah ihwal penanganan bencana Sumatera.”
Nah, soal kritik itu sendiri, Iqbal memang cukup aktif di media sosial pribadinya. Beberapa waktu terakhir, ia kerap menyoroti soal banjir besar di Sumatera dan respons yang dinilainya lamban dari pemerintah. Beberapa juru kampanye Greenpeace lain juga bersuara melalui wawancara media. Semua pernyataan mereka berdasar pada temuan tim di lapangan serta analisis organisasi.
Efeknya? Iqbal kebanjiran komentar kasar dan pesan ancaman lewat direct message Instagram. Tapi bagi Leonard, kritik seperti ini justru lahir dari keprihatinan. “Lahir dari solidaritas terhadap para korban,” tegasnya. “Apalagi di balik banjir Sumatera ini ada persoalan perusakan lingkungan, deforestasi dan alih fungsi lahan yang terjadi menahun, yang terjadi atas andil pemerintah juga.”
Belum lagi, ia menambahkan, rencana pemerintahan baru yang akan membuka jutaan hektare lahan di Papua. Menurutnya, langkah itu berisiko merugikan Masyarakat Adat dan memperparah krisis iklim.
Greenpeace Indonesia secara tegas mengecam maraknya upaya teror semacam ini. Leonard berpendapat, kritik publik seharusnya dilihat sebagai ekspresi demokrasi, bukan ancaman. Ia mengingatkan bahwa kebebasan berbicara adalah hak konstitusional.
“Upaya teror tak akan membuat kami gentar,” pungkas Leonard dengan nada mantap. “Greenpeace akan terus bersuara untuk keadilan iklim, HAM, dan demokrasi.”
Artikel Terkait
Setelah Serangan Saudi, UEA Tarik Personel Terakhirnya dari Yaman
Ironi Pendidikan Tinggi: Dosen Gugat Negara Demi Upah Layak di Tengah Gengsi Kampus Dunia
BNPT Ungkap 21 Ribu Konten Radikal di Medsos Sepanjang 2025
Serangan Udara di Mukalla, KBRI Muscat Siagakan WNI di Yaman