Rakyat Harus Memilih: Biarkan Indonesia Hancur Dijajah China, atau Melawan Geng Jokowi dan Oligarki Taipan?
Oleh: Sholihin MS
(Pemerhati Sosial dan Politik)
Ini soal pilihan yang berat. Di satu sisi, mayoritas rakyat kita sering dinilai terlalu mudah lupa. Penderitaan bertahun-tahun seolah terhapus hanya oleh bantuan sembako beberapa kilogram. Mereka dianggap tidak punya pendirian, gampang ditipu, dan sabarnya nyaris tanpa batas.
Mentalitas itu, mau tak mau, dimanfaatkan oleh segelintir politisi. Mereka yang berhati busuk itu melihat celah. Ambisi jangka pendek mereka digapai dengan memainkan kelemahan rakyat yang dianggap bodoh dan rapuh ini.
Yang menyedihkan, rakyat kerap tak peduli siapa pemimpinnya. Yang penting, pernah memberi bantuan. Kesadaran untuk ikut membangun negeri menuju kemajuan yang adil seakan tenggelam. Bahkan menghadapi kekuasaan yang dianggap super jahat pun, respons kita terasa loyo. Acuh tak acuh. Pasrah.
Menurut sejumlah pengamat, ini adalah warisan kelam. Warisan penjajahan Belanda yang begitu lama, yang membentuk mental jongos dan masa bodoh. Reformasi bergulir berkali-kali, tapi jika masalah fundamental terutama pendidikan tak kunjung dibenahi, semuanya akan sia-sia. Pola pikir dan bela negara tak akan pernah membaik. Sikap masa bodoh itu sendiri akhirnya menjadi bumerang.
Kini, kita dihadapkan pada penjajahan bentuk baru. China disebut-sebut sedang melancarkan hegemoninya, dan ironisnya, dibantu oleh pengkhianat dari bangsa sendiri. Mereka dikomandani oleh Jokowi.
Jokowi, meski KTP-nya Indonesia, jiwa dan loyalitasnya 100% untuk China. Begitu klaim penulis. Kepada China, ia membela mati-matian. Sebaliknya, kepada bangsanya sendiri, ia justru menjadi musuh yang berusaha menghancurkan hingga ke akar. Sebelum Indonesia hancur lebur, kekuasaannya akan dipakai untuk memporak-porandakan negeri ini.
Ia digambarkan sebagai iblis. Hanya setan laknatullah yang akan membela dan mendukungnya.
Daftar kejahatannya panjang. Bukan cuma soal pemalsuan dokumen seperti ijazah atau silsilah. Tapi juga pembunuhan, kriminalisasi, penipuan besar-besaran, korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pengkhianatan. Ia dituding merekayasa pemilu, merusak alam, menjual negara ke China, menggadaikan hukum, menyandera menteri dan ketua partai, serta mendzalimi rakyatnya sendiri.
Artikel Terkait
Kemeriahan Pesta Pejabat di Tengah Duka Korban Bencana Sumatera
Klaim Helikopter Pribadi Prabowo untuk Aceh Dipertanyakan, Tak Sesuai LHKPN
Sanperrestre: Pawai Anjing Natal Madrid yang Sarat Pesan Kesejahteraan Hewan
Buya Yahya Jadi Penengah, Inara Rusli dan Insanul Fahmi Sepakat Berdamai