Dia tertidur dengan pikiran kalut, lalu terbangun pukul 04.00 WIB. Saat bersiap ke musala, matanya menatap golok yang sehari sebelumnya dipakai memotong ranting. Ingatan tentang berita mafia tanah dan sikap Abdul Azis soal bantuan anak yatim tiba-tiba menyergapnya. Dia juga ingat, kedua orang itu pasti akan salat subuh di musala yang sama.
Dan sejarah hitam pun tercipta di Musala Al Manar pada subuh yang naas itu.
Pembelaan di Persidangan: "Gelap Mata" dan Penyesalan
Di hadapan hakim, Sujito mencoba menjelaskan apa yang terjadi di kepalanya. Dia mengakui menonton berita mafia tanah malam sebelumnya. Saat bangun subuh, ingatan itu muncul lagi bersamaan dengan masalah pribadinya.
Tapi dia mengaku kondisi saat itu tidak normal. Kepalanya pusing. Dia tak ingat apa-apa setelahnya. Iya, dia membawa golok dalam sajadah, tapi tujuannya cuma mau "memberi pelajaran", bukan membunuh.
Dia mengaku memukul Abdul Azis dan Cipto masing-masing dua kali, dan Arik sekali. Tapi semuanya terjadi dalam keadaan "gelap mata".
Di akhir kesaksiannya, Sujito menyatakan penyesalan yang mendalam atas semua yang telah diperbuatnya.
Pertimbangan Hakim: Keji, Terencana, dan Tak Termaafkan
Sayangnya, majelis hakim tidak tergoyahkan oleh pembelaan itu. Bagi mereka, tindakan Sujito jelas-jelas keji, kejam, dan yang paling penting: direncanakan matang-matang. Klaim "hanya memberi pelajaran" dianggap tak masuk akal.
Hakim juga membeberkan fakta lain yang meruntuhkan alasan Sujito. Soal bantuan anak yatim, saksi membuktikan bahwa satu cucu Sujito sudah dapat Rp 1 juta di 2024, dan di 2025 kedua cucunya justru menerima total Rp 3 juta. Bantuan itu nyata dan sudah cair.
Sementara soal tanah, jalan yang dipersengketakan itu ternyata sudah ada sejak lama sebagai fasilitas umum, dikenal warga sebagai 'jalan keluarga'. Bukan hasil rebutan sepihak.
Hakim menekankan betapa sadisnya perbuatan ini. Dilakukan di rumah ibadah, saat korban sedang salat, dan direncanakan dengan menyimpan golok. Argumen pengacara bahwa kliennya menyesal dan mengaku terus terang pun ditolak. Selama persidangan, Sujito justru sering menjawab "lupa", "tidak tahu", dan berbelit-belit. Sikap menyesal itu tak terlihat nyata.
Majelis akhirnya merumuskan beberapa hal yang memberatkan: perbuatannya meresahkan masyarakat, sifatnya sadis dan keji, dilakukan di masjid, dan menargetkan orang yang sedang beribadah.
Dengan pertimbangan itulah hukuman mati dijatuhkan. Saat ini, Sujito dikabarkan telah mengajukan banding. Dia sendiri masih bungkam, belum memberikan pernyataan apa pun mengenai vonis yang mengubah sisa hidupnya itu.
Artikel Terkait
Minuman Impor China dalam Program Makanan Bergizi, Warganet Soroti Ironi Anggaran
Malam Tahun Baru Tak Harus Mewah, Intinya Kebersamaan
Far Friend Class Taiwan: Wisata Keluarga atau Pertukaran Intelijen Terselubung?
Amien Rais Tuding Prabowo: Bukan Lagi Bagian Masalah, Tapi Masalah Itu Sendiri