Pada hakikatnya, pejabat pemerintah adalah profesional yang diberi mandat politik secara sah. Bukan sekadar kader partai yang kebetulan menduduki kursi. Saat mereka lebih merasa sebagai wakil partai daripada abdi negara, kepemimpinan pun direduksi jadi soal loyalitas politik semata. Pemerintahan lalu kehilangan manager dan hanya menyisakan operator of power yang egois. Tugas mereka seharusnya menjadikan pemerintahan organisasi yang dikelola dengan baik, bukan sekadar diarahkan.
Untuk menjadi negara hebat, di antara para pejabat itu harus muncul Pemimpin Negara the statesmen. Mereka yang mampu mengelola organisasi bernama Republik Indonesia ini.
Puncaknya adalah Bapak Bangsa. Sosok yang "memberikan dirinya bagi bangsanya, bahkan setelah ia tak lagi menjabat." Bapak Bangsa bukan produk masa jabatan, melainkan buah dari keteladanan sepanjang masa. Sulit mencari contoh sempurna di Indonesia modern. Soekarno dan Soeharto, dengan segala jasanya, meninggalkan warisan problematik dalam jangka panjang. Kita seperti kian kehilangan figur pendamping bangsa; yang ada malah terasa seperti beban.
Penyakit kita, sepertinya, adalah merajalelanya profesionalisme semu, terutama dalam hal bertanggung jawab. Hasilnya persis seperti satir wartawan senior Parakitri Tahi Simbolon dalam "Menjadi Indonesia" (2006).
Dia menulis, Indonesia "tidak pernah berpeluang mengembangkan tradisi pemerintahan yang bertanggung jawab, karena sejak awal rakyat hanya diajar melihat kekuasaan sebagai alat penindasan, bukan amanat politik."
Nampaknya, inilah akar kegaduhan kita sekarang. Kita lebih piawai memproduksi drama ketimbang kinerja, lebih sibuk mencipta narasi terutama di media sosial daripada prestasi nyata. Performativity menggantikan performance. David M. Cohen menyebutnya the Amateur Government, meski saya lebih suka istilah government by amateur.
Jalan Masih Panjang
Untuk jadi bangsa yang dihormati, Indonesia butuh rantai kepemimpinan yang utuh. Dimulai dari Pribadi Profesional, naik menjadi Pemimpin Pemerintahan, lalu Pemimpin Negara, dan akhirnya pada puncaknya menjadi Bapak Bangsa. "Bapak" di sini mencakup laki-laki dan perempuan, tanpa makna paternalistik atau feodal.
Yang kita saksikan hari ini? Mungkin kebanyakan masih para petualang kekuasaan. Mereka tampil dengan fantasi, berhadapan dengan rakyat yang kesulitan, lalu menjadi kritis saat rakyatnya yang bersuara justru dicurigai. Di relung terdalam, yang ada adalah rakyat yang kepercayaannya tergerus, menghadapi semuanya dalam kesendirian.
Maka, kalau kita mau jujur, bencana yang kita alami bukan cuma banjir dan longsor sebagai bencana hibrida. Ini adalah bencana kepemimpinan. Sebuah sinyal keras, agar setiap pemimpin Indonesia belajar. Belajar lagi. Melecut diri dengan keras, sambil menundukkan kepala dalam-dalam ke arah bumi.
Artikel Terkait
Dewan Syariah Surakarta Soroti Izin Proyek Bukit Doa Hollyland
Menteri Minta BMKG Waspadai Perubahan Cuaca Jelang Tahun Baru
Pemerintah Pastikan Penggantian Dokumen Korban Bencana Gratis, Pengawasan Diperketat
Cuaca Buruk di Bali, Wisatawan Lokal Beralih ke Jawa