Keluhuran Bangsa: Antara Retorika dan Tanggung Jawab Nyata Negara

- Senin, 29 Desember 2025 | 05:50 WIB
Keluhuran Bangsa: Antara Retorika dan Tanggung Jawab Nyata Negara

Keluhuran bangsa juga diuji lewat cara negara menyikapi kritik. Sayangnya, kritik seringkali dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai koreksi yang perlu didengar. Padahal dalam demokrasi, kritik justru bentuk kecintaan. Membungkamnya sama saja dengan menutup mata dari penderitaan. Negara yang kuat bukanlah yang anti kritik, tapi yang berani bercermin dan memperbaiki diri.

Mengayomi rakyat bukan berarti memanjakan. Esensinya adalah memastikan setiap warga punya kesempatan yang adil untuk hidup secara bermartabat. Negara harusnya jadi penyangga, bukan malah jadi beban. Tapi yang kerap terjadi justru sebaliknya: birokrasi berbelit, kebijakan plin-plan, dan hukum yang membingungkan rakyat kecil.

Tokoh bangsa Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, punya pandangan tajam soal ini.

“Kekuasaan harus selalu dikontrol, karena kekuasaan cenderung menyimpang.”

Nah, ketika kontrol sosial dilemahkan dan kekuasaan dibiarkan tanpa koreksi, rakyatlah yang selalu jadi korban. Perlahan-lahan, keluhuran bangsa itu terkikis oleh praktik-praktik yang jauh dari nilai kemanusiaan.

Pada intinya, bangsa yang luhur harus diukur dari keberpihakan yang nyata. Bukan dari simbol atau seremoni semata. Upacara megah dan jargon nasionalisme tak akan ada artinya jika rakyat masih hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian. Nasionalisme sejati itu sederhana: membuat rakyat merasa aman, dihargai, dan dilindungi oleh negaranya sendiri.

Keluhuran juga terlihat dari keberanian negara untuk mengoreksi diri. Mengakui kesalahan bukan tanda kelemahan, justru itu bukti kedewasaan. Negara yang menolak dikritik dan enggan berbenah justru menunjukkan ketakutannya kehilangan kekuasaan, bukan komitmen pada keluhuran nilai.

Jadi, pernyataan bahwa bangsa ini luhur harus dibuktikan. Bukan sekadar diucapkan. Keluhuran bukan warisan yang didapat secara otomatis, melainkan tanggung jawab yang harus diperjuangkan setiap hari. Jika negara sungguh-sungguh ingin disebut luhur, maka satu hal yang tak boleh ditawar: komitmen untuk menjaga dan mengayomi rakyatnya tanpa kecuali.

Peringatan dari tokoh-tokoh bangsa itu harusnya menggugah kita. Perjuangan hari ini adalah memastikan negara tidak berubah menjadi penjajah bagi rakyatnya sendiri. Tanpa itu, keluhuran bangsa cuma mitos rapuh yang mudah runtuh oleh kerasnya kenyataan. Karena keluhuran Indonesia berakar pada Pancasila bukan sekadar konsep filosofis, tapi pedoman moral. Dalam kerangka itu, rakyat bukan alat legitimasi. Mereka adalah tujuan utama dari keberadaan negara ini.

(ed/jaksat/tom)


Halaman:

Komentar