Ayam Bersyahadat dan Pelajaran Toleransi di Hutan Kalimantan

- Minggu, 28 Desember 2025 | 01:06 WIB
Ayam Bersyahadat dan Pelajaran Toleransi di Hutan Kalimantan

Rumah pertama yang saya datangi adalah kediaman Bang Anchu. Rumah Bos Top? Itu tujuan pamungkas. Saya butuh pemanasan perut dulu sebelum 'disandera' sang bos besar sampai pagi. Ini strategi tingkat tinggi dalam berburu hidangan gratis.

Belum juga duduk dengan benar, Bang Anchu sudah buka suara layaknya jubir istana.

“Fit, nanti makan yang di meja sana ya. Ayamnya halal, disembelih tetangga yang Muslim tadi sore,” katanya.

Saya tertegun. Ayam itu bukan cuma disembelih. Ia seolah sudah 'bersyahadat' khusus untuk menyambut saya. Di sini, toleransi bukan cuma kata di spanduk atau pidato pejabat yang membosankan. Ia hidup.

Di sisi lain, pemandangan di luar rumah juga tak kalah menyentuh. Palangka Raya adalah tempat di mana Masjid dan Gereja bisa berdekatan, hanya dipisahkan satu dinding. Mereka seperti saling berbisik, menjaga kedamaian kota ini. Tak ada tatapan curiga. Yang ada cuma senyum dan ajakan, "Sudah makan belum?"

Intinya, perbedaan di sini bukan alasan untuk menjauh. Justru jadi alasan untuk saling menjaga. Diskriminasi? Tidak ada. Yang ada cuma saling menawarkan makanan enak.

Jadi, Natal di Kalteng bagi saya bukan cuma tentang pohon terang atau lagu-lagu rohani. Ia tentang bagaimana Bang Anchu dan kawan-kawan melampaui batas dogma demi sebuah nilai sederhana: persaudaraan.

Malam itu, di bawah langit Palangka, saya belajar satu hal. Kalau jalanan Buntok-Palangka saja bisa diperbaiki hingga semulus itu, seharusnya ego manusia juga bisa dilunakkan. Dibentuk oleh kasih sayang antar sesama.

Untuk yang merayakan, Selamat Natal. Dan terima kasih untuk ayam 'bersyahadat'-nya. Sangat tepat untuk tamu yang hobi mampir seperti saya.


Halaman:

Komentar