Peluang Indonesia untuk beralih ke bahan bakar yang lebih bersih di jalanan sebenarnya cukup cerah. Tapi, kata para ahli, semua itu bisa buyar kalau pemerintah plin-plan dengan kebijakannya. Konsistensi adalah kunci utamanya.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi yang digelar INDEF belum lama ini. Topiknya soal BBM ramah lingkungan dan masa depan transportasi nasional. Yang menarik, meski targetnya ambisius, realisasi di lapangan ternyata masih jomlang.
Abra Talattov dari INDEF menyoroti hal itu. Pemerintah menargetkan campuran bioetanol 15 persen (E15) tahun depan, tapi faktanya baru capai 5 persen saja.
Di sisi lain, beban APBN akibat impor BBM fosil masih sangat berat. Abra mengingatkan, pada 2022 lalu, subsidi energi tembus Rp500 triliun! Memang ada penurunan defisit perdagangan migas di 2024, tapi momentum harga minyak yang turun ini justru harus dimanfaatkan untuk mendorong program energi bersih.
Produksi Dalam Negeri Tertinggal Jauh
Grandprix Thomryes Marth Kadja dari ITB membeberkan data yang lebih teknis. Untuk memenuhi target E10 saja, Indonesia butuh sekitar 1,4 juta kiloliter bioetanol per tahun. Sayangnya, kapasitas produksi kita cuma 300.000 kiloliter. Itu pun yang benar-benar fuel grade cuma sepertiganya.
Ia juga menjelaskan keunggulan bioetanol. Bahan bakar dari tebu ini punya siklus karbon yang lebih seimbang, bebas sulfur, dan pembakarannya lebih sempurna dibanding BBM fosil.
Pabrikan Mobil Sudah Siap, Kok
Lalu, bagaimana dengan kesiapan kendaraan yang ada? Menurut Kukuh Kumara dari GAIKINDO, industri otomotif sebenarnya sudah siap sejak lama. Pengujian untuk bahan bakar E20 bahkan sudah dilakukan sejak 2009.
Ia menambahkan, standar emisi kendaraan pun sudah ditingkatkan. Semua kendaraan bensin baru sejak 2018 sudah Euro 4. Industri siap melompat ke Euro 5 atau 6, asal ada kepastian waktu penerapannya dari pemerintah.
Masalah Teknis yang Njelimet
Tapi jalan menuju transisi ini tidak mulus. Grandprix memperingatkan soal sifat etanol yang hidroskopik, alias suka menyerap air. Proses penyimpanan dan distribusinya harus super ketat agar kemurniannya terjaga di atas 99,5 persen. Kalau tidak, ya bahaya.
Artikel Terkait
Darfur Berdarah Lagi: Lebih 200 Warga Sipil Jadi Korban Serangan Bermotif Etnis
Hijau dan Cokelat Beradu Palu, Hunian Darurat Tumbuh di Sisa Banjir Sumbar
Ampera Dikarantina Tiga Jam Demi Malam Tahun Baru yang Kondusif
Deru Soroti Truk ODOL sebagai Biang Kerusakan Jalan Sekayu–Muara Beliti