Setelah membacanya, saya jadi mikir. Mungkin inilah alasannya mengapa segalanya terasa aman-aman saja. Pelaku perusakan hutan, yang sebenarnya akar masalahnya, justru bisa tidur nyenyak.
Terutama di Aceh, Sumatera. Bencana datang silih berganti.
Namun begitu, yang terjadi justru sebaliknya. Pelaku utama seolah dilindungi, sementara korban yang menyuarakan kekecewaannya malah dianggap bermasalah. Ironis, bukan?
Jadi, kalau ditanya mana yang lebih berbahaya? Tampaknya, kita sudah punya gambaran yang cukup jelas. Tindakan yang menghancurkan lingkungan hidup punya konsekuensi jangka panjang dan nyata. Sementara ekspresi protes, bagaimanapun, adalah buah dari kekecewaan yang menumpuk.
Artikel Terkait
Lampung Ramai, Penumpang Kereta Melonjak Jelang Libur Natal dan Tahun Baru
Hijau yang Tersisa Menuntut Pertanggungjawaban: Ranah Minang di Balik Tirai Bencana
Balap Liar Dini Hari di Kalimalang Berujung Maut
Kodim Mimika Genap 29 Tahun, Syukuran Sederhana Penuh Makna