2026: Medan Pembunuhan Politik untuk Prabowo?
Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, punya peringatan keras. Menurutnya, tahun 2026 nanti bisa jadi periode paling berbahaya bagi Presiden Prabowo Subianto. Ancaman yang dimaksud bukanlah ancaman fisik yang kasat mata, melainkan sesuatu yang lebih halus dan berbahaya: sebuah "pembunuhan politik senyap".
“Ancaman terhadap kepala negara tidak selalu datang dari arah yang terlihat,” ujar Sutoyo, Sabtu (27/12/2025).
“Justru yang paling berbahaya adalah ketika presiden dibuat tidak mampu bergerak dan tidak mengetahui realitas sebenarnya.”
Dalam analisisnya, Sutoyo meminjam konsep intelijen klasik, killing ground. Ini adalah zona abstrak tempat berbagai kepentingan saling bertemu dan berpotensi melumpuhkan seorang pemimpin, tanpa perlu menjatuhkannya secara formal. Ancaman ini, katanya, bekerja lewat isolasi informasi, sabotase kebijakan, dan tekanan dari kekuatan ekonomi-politik yang mengitari kekuasaan.
Semuanya berawal dari lingkaran terdekat. Orang-orang yang setiap hari punya akses ke presiden, menurut Sutoyo, berpotensi besar melakukan penyaringan informasi secara berlebihan. Ia menyoroti peran Sekretariat Kabinet. Secara struktural, lembaga ini mengatur agenda dan administrasi. Tapi dalam praktiknya, ia juga punya kewenangan untuk memilih info mana yang layak disampaikan ke pimpinan negara.
“Dalam pengamatan politik, ketika fungsi penyaringan ini dimainkan di luar batas tugas pokok, presiden bisa terlambat mengetahui situasi darurat. Ini berbahaya,” tegasnya.
Ia menilai, beberapa keterlambatan respons presiden menghadapi isu krusial belakangan ini bisa jadi indikasi adanya hambatan komunikasi internal yang serius.
Lingkaran pertama ini langsung terhubung dengan lapisan kedua: birokrasi dan elite politik pendukung pemerintahan. Di sini, killing ground bekerja lebih halus lagi. Caranya? Bisa lewat sabotase kebijakan, manipulasi laporan dari lapangan, atau penyaringan agenda yang membuat presiden terisolasi dari kondisi riil di tanah air.
Sutoyo juga menyinggung komposisi kabinet. Menurut sejumlah pengamat, sekitar 60 persen menteri di Kabinet Merah Putih lebih loyal pada partai atau kekuatan di luar kendali langsung presiden.
“Ini menciptakan kerentanan serius,” ujarnya.
Artikel Terkait
Dari Nebeng Motor Teman ke Ketua OSIS: Perjalanan Sadam Menemukan Rumah Kedua
Malam Tahun Baru 2025, Sudirman-Thamrin Berubah Jadi Panggung Raksasa
Edi Kemput: Dari Distorsi Gitar ke Suara Hati Nurani
Merapi Kembali Muntahkan Awan Panas Dua Kali dalam Sejam