Suara yang Tenggelam dalam Sunyi
Di titik ini, teori spiral of silence bekerja. Dijelaskan Elisabeth Noelle-Neumann, teori ini menyebut orang cenderung diam saat merasa pandangannya minoritas. Nah, dalam hiruk-pikuk linimasa yang dipenuhi gosip, isu bencana terasa “tidak populer” untuk dibicarakan.
Mereka yang peduli soal banjir Sumatera atau deforestasi sering merasa suaranya tenggelam. Lalu memilih diam. Keheningan ini memperkuat ilusi bahwa isu ekologis bukan prioritas. Media pun makin jarang angkat. Lingkaran setan: senyap melahirkan senyap.
Mematahkan spiral ini butuh strategi. Isu lingkungan tak bisa cuma jadi laporan teknis. Ia harus diceritakan sebagai pengalaman sosial yang dekat. Misalnya, banjir yang memutus akses kerja, atau asap yang merampas hak anak sekolah. Bukan buang data, tapi membingkainya dengan cara yang komunikatif.
Ketika publik merasa terwakili dan melihat isu ini sebagai masalah bersama, keberanian bersuara akan tumbuh. Spiral keheningan itu pun mulai retak.
Selain itu, isu ini perlu dirawat keberlanjutannya. Bukan liputan musiman saat bencana meledak, tapi pelaporan yang konsisten, yang menautkan sebab-akibat dan mengungkap aktor kebijakan. Peran jurnalisme solusi dan kolaborasi dengan komunitas lokal jadi krusial di sini.
Sumatera tidak kekurangan bencana atau berita. Yang kurang adalah perhatian yang konsisten dan komunikasi yang berpihak pada kepentingan jangka panjang. Intinya, Sumatera sedang kekurangan ruang dalam percakapan nasional kita.
Menata Ulang Agenda
Drama perselingkuhan akan selalu ada. Tahun ini, tahun depan, dan seterusnya. Ia akan selalu jadi aib yang menarik untuk dibicarakan. Tapi, ketika ia dibiarkan mendominasi agenda publik, krisis ekologis dipaksa berkompetisi dalam kondisi yang tidak adil.
Agenda setting perlu ditata ulang. Media harus lebih berpihak pada kepentingan publik jangka panjang. Platform perlu desain distribusi yang lebih bertanggung jawab. Dan kita, sebagai warga, perlu lebih reflektif dalam memilih perhatian.
Selama spiral of silence dibiarkan, bencana ekologis akan tetap jadi latar belakang yang sunyi. Padahal, dalam senyap itulah masa depan dipertaruhkan. Persoalannya bukan cuma siapa berselingkuh dengan siapa. Tapi, siapa yang diuntungkan ketika publik berhenti membicarakan hutan, deforestasi, kemanusiaan, dan masa depan ekologisnya sendiri.
Artikel Terkait
Natal di Watutumou Berakhir Gelap Gara-gara Listrik Padam Seharian
Mantos Dipadati Pengunjung Usai Perayaan Natal
Kisah Pilu Sembilan WNI: Kabur dari Kandang Scammer di Kamboja
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.137 Jiwa, Pencarian Korban Hilang Terus Digencarkan