Kalau mau mencari momen kejujuran Joko Widodo, mungkin kita harus mundur jauh ke belakang. Tepatnya pada Juni 2013, di sebuah seminar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Saat itu, dia tampil bersama Profesor Mahfud MD dan almarhum Profesor Syafii Maarif. Obrolan santai mereka sampai pada topeng nilai kuliah IPK.
Di situlah, dengan polosnya, Jokowi mengaku: IPK-nya di bawah angka 2.
Pernyataan itu terkesan sederhana. Tapi kalau dipikir-pikir, ada yang janggal.
Pertama, setiap mahasiswa Universitas Gadjah Mada pasti tahu syarat kelulusan S1: IPK minimal 2,00. Itu aturan dasar. Pengetahuan semacam ini biasanya tersimpan rapi di hippocampus, bagian otak yang jadi gudang memori autobiografi dan fakta-fakta penting sepanjang hidup kita.
Nah, jika Jokowi benar-benar tidak menyadari batas minimal itu, maka klaim IPK-nya di bawah 2 jadi punya implikasi lain. Bukan cuma soal angkanya yang rendah. Tapi ini menunjukkan bahwa konsep ‘lulus sarjana dengan IPK minimal 2,00’ sama sekali tidak melekat dalam ingatannya. Bisa dibilang, IPK itu sendiri barangkali tak punya makna apa-apa baginya.
Lebih jauh lagi, ini mengarah pada poin kedua.
Artikel Terkait
Mencari Makna Islah di Tubuh NU: Jargon atau Agenda Perbaikan?
Mahasiswa IT Kirim Email Teror ke Sekolah Usai Cinta Ditolak
Islah di Tubuh NU: Jargon atau Agenda Perbaikan Nyata?
Amien Rais Sindir Gaya Kepemimpinan Prabowo: Masih Terlalu Sibuk Berkelana