Sejak siang, ruang-ruang publik di Aceh mulai ramai. Warga berdatangan, bukan untuk hal biasa, tapi untuk menyuarakan isi hati mereka. Aspirasi itu sederhana namun mendesak: mereka mendesak pemerintah menetapkan bencana yang menghantam tanah mereka sebagai bencana nasional. Tuntutan ini bukan datang tiba-tiba. Ia lahir dari penderitaan panjang rumah yang hilang, mata pencaharian yang lenyap, dan rasa aman yang terkikis, sementara penanganan dari pusat terasa lamban dan tak serius.
Aksi itu berlangsung tertib, penuh martabat. Ini adalah protes atas ketiadaan negara di tengah krisis yang sebenarnya. Bagi mereka, musibah ini sudah melampaui batas lokal. Ini persoalan nasional yang butuh pengakuan dan tindakan nyata dari Jakarta.
Namun suasana berubah. Tiba-tiba saja. Ketika sebagian peserta mengibarkan bendera Bulan Bintang, simbol yang punya akar sejarah dan identitas mendalam di Aceh, reaksi aparat langsung memanas. Simbol itu rupanya memicu kemarahan. Alih-alih berdialog, aparat TNI yang bertugas memilih langkah represif. Aksi damai itu akhirnya dibubarkan paksa.
Padahal, menggunakan simbol itu sama sekali bukan pelanggaran. Ini dijamin hitam di atas putih.
Artikel Terkait
Lalu Lintas Lancar, Liburan Natal Masih Berlanjut di Ruas Tol Favorit
Aura Kasih Bantah Keras Isu Kedekatan dengan Ridwan Kamil
PCNU Sintang Galang Rp17 Juta untuk Korban Banjir di Tiga Provinsi
Hening di Pelabuhan Lampulo: Nelayan Aceh Berhenti Melaut untuk Kenang Tsunami