Mengapa alat berat begitu krusial? Dalam proyek skala raksasa, keuntungan tercepat justru datang dari fase pembukaan lahan. Kayu ditebang, tanah diratakan, volume dihitung semua bernilai uang. Panen bisa gagal, lahan bisa ditinggalkan, tapi sumber daya yang sudah diambil tidak akan kembali. Pola ini sudah lama berjalan, dan selalu diulang di wilayah-wilayah yang jauh dari sorotan.
Soal hukum dan pajak? Singkat saja. Perusahaan besar dengan kewajiban pajak besar, bisa bermain licin. Sementara rakyat kecil yang salah isi SPT langsung dikejar. Ini menunjukkan satu kenyataan pahit: hukum kerap keras ke bawah, tapi sangat lentur ke atas.
Lalu, mengapa ia seolah kebal? Kekuasaan di negeri ini berdiri di tiga pilar: uang, relasi politik, dan alat paksa negara. Ketika ketiganya berkumpul di satu titik, terciptalah kekebalan yang nyaris sempurna.
Coba bayangkan jika proyek ini gagal total. Siapa yang menanggung rugi? Bukan dia. Bukan keluarganya. Yang menanggung adalah lingkungan yang rusak, warga lokal yang terpinggirkan, bank negara, dan APBN. Sementara ekskavatornya sudah terbayar, kayunya sudah terjual, dan pengaruhnya justru makin kuat. Ini bukan teori konspirasi. Ini logika bisnis yang paling telanjang.
Karena itu, dua ribu ekskavator itu bukan simbol kemajuan. Itu adalah sirene peringatan. Tanda bahwa satu orang punya kemampuan untuk menggerakkan negara, tanpa perlu duduk di kursi kekuasaan resmi. Dan itu justru lebih berbahaya.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Paling tidak, jangan mudah percaya pada narasi yang dibungkus terlalu manis. Narasi bahwa semua ini demi rakyat Papua, bahwa tanahnya kosong, bahwa kritik adalah pengkhianatan. Kritik justru bukti kita masih peduli. Jika hari ini kita diam menyaksikan Papua diratakan, jangan kaget jika besok giliran wilayah lain. Polanya akan sama, hanya lokasinya yang berganti.
Dia kuat karena beberapa hal yang saling menguatkan. Pertama, dia pemain lama dengan jaringan yang mengakar dalam. Kedua, dia melekat erat dengan kekuasaan yang sedang berjalan. Ketiga, proyeknya memakai legitimasi nama negara. Keempat, ada kehadiran aparat yang memberikan efek membungkam. Kelima, kekuatan finansialnya melunakkan banyak hal. Dan keenam, citra kedermawanannya menjadi tameng sosial yang ampuh.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar soal satu orang. Ini tentang sistem yang memberi panggung kepada mereka yang punya kombinasi mematikan: modal besar, koneksi politik, dan keberanian untuk mengambil dengan cara apapun. Papua hanya menjadi panggung dari sebuah drama yang lebih besar. Ia kuat bukan karena ia paling hebat, tetapi karena terlalu banyak pihak berkuasa yang membutuhkannya, dan tak ingin kehilangannya.
(fb)
Artikel Terkait
Pengakuan Elida Netti Sentuh Ijazah Jokowi Dihantam Bantahan: Keterangan yang Menyesatkan Publik!
Pohon Natal dari Knalpot Brong, Cara Polisi Ketapang Edukasi Pengendara
Paus Leo XIV Pimpin Misa Natal Perdana, Awali Babak Baru di Vatikan
Jakarta Beristirahat: Jalan Protokol Sepi di Libur Natal