Di kalangan guru, dari Sabang sampai Merauke, ada lelucon yang selalu muncul setiap kali kabinet baru dilantik. "Siapkan binder baru, Bu," begitu kira-kira bunyinya. "Sebentar lagi ganti istilah, ganti seragam, dan ganti aplikasi."
Tawa yang mengikutinya bukan tawa riang. Itu tawa getir. Sebuah bentuk pertahanan diri untuk menghadapi penyakit kronis yang terus kambuh: sindrom "Ganti Menteri, Ganti Kebijakan". Atau, kalau mau lebih tepat lagi sekarang, "Ganti Rezim, Ganti Judul".
Baru-baru ini, wacana itu muncul lagi. Istilah "Guru Penggerak", yang sempat jadi primadona di era sebelumnya, kini mulai dibayangi. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah di era baru ini mendengungkan terminologi lain: "Guru Pejuang Digital".
Sekilas, terdengar heroik. Tapi bagi yang sudah lama mengamati, ini seperti akrobat semantik belaka. Cuma ganti label pada botol yang isinya mungkin tak jauh beda. Praktik rebranding semacam ini menghabiskan energi dan anggaran. Yang paling parah, ia mengaburkan masalah-masalah substansial yang sebenarnya perlu diatasi.
Jebakan Sinonim dan Ilusi Kebaruan
Lantas, apa bedanya "Penggerak" dan "Pejuang Digital"?
Secara filosofis, "Guru Penggerak" dirancang sebagai pemimpin pembelajaran. Mereka diharapkan mendorong pertumbuhan murid secara holistik dan aktif mengembangkan sesama pendidik. Kata kuncinya: inisiatif dan kepemimpinan.
Nah, "Guru Pejuang Digital" narasinya lain. Ini tentang guru yang mampu menaklukkan tantangan teknologi, membawa literasi digital ke kelas, dan adaptif terhadap zaman. Kata kuncinya jelas: adaptasi teknologi.
Pertanyaannya sederhana. Bukankah seorang "Penggerak" di abad 21 ini sudah pasti harus melek digital? Dan sebaliknya, apa gunanya seorang "Pejuang Digital" kalau dia tak bisa "menggerakkan" murid dan rekan sejawatnya?
Irisan antara keduanya mungkin mencapai 90 persen. Tapi di tangan birokrasi, perbedaan 10 persen itu tiba-tiba jadi jurang lebar. Seolah-olah itu alasan yang cukup untuk melahirkan program baru, anggaran baru, pelatihan baru, dan tentu saja proyek baru.
Pemerintah seolah terjebak dalam sesat pikir. Mereka mengira mengganti nama program akan otomatis mengubah kualitas di lapangan. Padahal, mengubah kata "Penggerak" menjadi "Pejuang" tidak akan membuat atap sekolah yang bocor jadi rapat. Sinyal internet di daerah 3T juga tak akan tiba-tiba jadi 5G.
Lelahnya Guru di Akar Rumput
Para pemangku kebijakan di Senayan atau di gedung Kemendikdasmen mungkin tak merasakan getirnya. Coba tengok apa yang terjadi di ruang guru SD Inpres di pedalaman Kalimantan, atau madrasah swasta di pelosok Jawa.
Bayangkan posisi mereka. Selama beberapa tahun terakhir, mereka dipacu untuk mengejar status Guru Penggerak. Mereka lembur mengisi esai, ikut pelatihan berbulan-bulan, meninggalkan keluarga demi memenuhi standar "Merdeka Belajar". Belum kering keringat, belum reda lelah mereka beradaptasi dengan Platform Merdeka Mengajar, kini sudah dihadapkan pada wacana baru "Pejuang Digital".
Dampaknya? Confusion and exhaustion. Kebingungan dan kelelahan massal.
Artikel Terkait
Healing di Akhir Tahun: Tren atau Kebutuhan Jiwa yang Mendasar?
Jalur Alternatif Puncak Amblas, Warga Buru-buru Dirikan Jembatan Bambu
Ayah Absen di Rumah: Fenomena Baru yang Menggerus Ketahanan Keluarga
Ribuan Tawon Serbu Jembatan Cisomang, Lalu Lintas Tak Terganggu