Kedua, khawatir mempermalukan keluarga. Rasa takut dianggap membawa aib, apalagi kalau pelakunya orang yang dihormati, membuat banyak kasus cuma berakhir dalam bisikan.
Ketiga, pengalaman diabaikan sebelumnya. Keluhan soal bullying atau kekerasan verbal sering dianggap bercanda atau hal sepele. Percuma melapor.
Keempat, mereka tidak punya kosakata yang tepat. Banyak remaja merasa ada yang salah, tapi bingung menyebutnya apa. Akibatnya, pengalaman mereka dianggap mengada-ada.
Ketika Pena Menjadi Teman Bicara
Ini yang ironis: kekerasan justru sering terjadi di tempat yang seharusnya aman rumah, sekolah, komunitas. Saat lingkungan tak peka, remaja belajar satu hal: melapor itu berlebihan, perasaan mereka tidak penting.
Memang, tidak semua orang bisa jadi psikolog atau pekerja sosial. Tapi setiap orang bisa memulai dari hal paling dasar: mendengarkan. Tanpa menghakimi.
Sementara menunggu ada orang dewasa yang benar-benar siap membantu, menulis bisa jadi jalan keluar. Ruang aman yang sederhana. Menulis memberi jarak dari penilaian orang lain, kebebasan memilih kata, dan kesempatan untuk memahami pengalaman sendiri. Bagi remaja, aktivitas ini bukan cuma tugas sekolah. Ini adalah cara untuk tetap bersuara, ketika berbicara terasa terlalu berisiko.
Pada akhirnya, ini semua adalah ajakan untuk lebih peka. Lebih hadir. Karena suara yang tidak terdengar, bukan berarti tidak ada. Mereka berhak tumbuh dengan rasa aman.
Artikel Terkait
Israel Klaim Tewaskan Otak Serangan Iran dalam Serangan Udara ke Lebanon
Penggali Kubur Gaza: 18.000 Jenazah dan Sebuah Kesaksian yang Tak Terkubur
Deru Dua Ribu Ekskavator: Ketika Papua Menjadi Sasaran Penguasaan Lahan
Jokowi Beri Maaf untuk Tersangka Ijazah, Kecuali Tiga Nama Ini