Setiap ganti istilah, konsekuensi administratifnya masif. Petunjuk teknis berubah. Aplikasi pelaporan kinerja bisa berganti antarmuka, atau lebih parah, berganti vendor. Guru yang seharusnya fokus menyiapkan materi ajar yang kreatif, justru tersedot waktunya untuk mempelajari "kamus baru" dari pusat. Energi mereka habis bukan untuk siswa, tapi untuk melayani ego administratif.
Kita sedang menciptakan generasi guru yang skeptis. Guru yang ketika mendengar program pemerintah, respons pertamanya bukan antusiasme, melainkan sinisme. "Ah, paling cuma bertahan dua tahun, nanti juga ganti lagi." Ini bahaya laten bagi pendidikan nasional.
Politik Gincu dan Kemiskinan Gagasan
Mengapa fenomena ini terus berulang? Jawabannya mungkin terdengar kasar, tapi perlu diucapkan: ini soal kemiskinan gagasan yang ditutupi oleh politik gincu kosmetik belaka.
Bagi pejabat baru, meneruskan program pejabat lama sering dianggap "kurang greget". Ada hasrat untuk meninggalkan jejak pribadi, walau jejak itu cuma stempel nama baru pada program yang isinya sama saja.
Menyebut "Guru Pejuang Digital" memang terdengar gagah dan futuristik. Tapi kalau isinya cuma pelatihan daring, modul yang copy-paste, dan target angka partisipasi semu, ya apa bedanya?
Kritik ini bukan berarti kita anti perubahan. Kita butuh perubahan. Tapi perubahan yang substansial, bukan sekadar kosmetikal.
Kalau pemerintah serius ingin menciptakan "Pejuang", jangan cuma beri gelar. Beri mereka senjata yang layak. "Senjata" itu adalah kesejahteraan yang manusiawi, kepastian status bagi honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, dan infrastruktur pendidikan yang setara.
Ironis sekali mendengar istilah "Pejuang Digital" digaungkan kepada guru honorer yang gajinya Rp300.000 per bulan dan harus memanjat pohon demi dapat sinyal untuk mengunggah laporan. Itu bukan pejuang. Itu korban ketidakadilan sistem yang cuma dipoles kata-kata indah.
Berhenti Bermain Kata, Mulailah Bekerja
Melalui tulisan ini, saya cuma ingin mengetuk atau mungkin menampar pelan kesadaran para pemangku kebijakan. Sudahlah. Hentikan obsesi pada rebranding. Guru-guru kita tidak butuh nama baru yang keren untuk dipajang di bio media sosial.
Kalau program "Guru Penggerak" punya kekurangan, evaluasi dan perbaiki isinya. Jangan ganti bungkusnya. Kalau tantangan digital semakin nyata, integrasikan kompetensi itu ke dalam sistem yang sudah ada. Tak perlu memporak-porandakan struktur yang baru saja mulai mapan.
Anggaran triliunan rupiah untuk sosialisasi istilah baru, cetak spanduk baru, dan bikin seragam baru, akan jauh lebih bermartabat jika dipakai untuk mengangkat guru honorer jadi PPPK atau memperbaiki ruang kelas yang nyaris rubuh.
Pendidikan itu investasi jangka panjang. Bukan proyek lima tahunan yang bisa di-reset sesuka hati. Mari berhenti main akrobat semantik. Kembalikan fokus pada esensi pendidikan: memanusiakan manusia, bukan memanusiakan istilah.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat seberapa kreatif Anda membuat singkatan atau nama program. Sejarah akan mencatat apakah di masa Anda menjabat, guru menjadi lebih sejahtera dan murid menjadi lebih cerdas. Atau sebaliknya: guru semakin bingung dan murid semakin tertinggal, sementara Anda sibuk bertepuk tangan merayakan peluncuran logo baru.
Artikel Terkait
Tragedi di Atap Afrika: Helikopter Jatuh di Kilimanjara Tewaskan Lima Orang
Atap Parkiran Ambruk di Koja, Hanya Selangkah dari Anak-anak yang Sedang Bermain
USDT Diam di Dompet? Ini Strategi Hasilkan Untung Tanpa Deg-degan
Healing di Akhir Tahun: Tren atau Kebutuhan Jiwa yang Mendasar?